Kamis, 27 Agustus 2015
Kamis, 21 Mei 2015
Puisi
PEREMPUAN
Hermawan
Senyummu yang menarik itu ketika aku berada di atas
di
balik senyummu ada rasa kepedihan, kesakitan, kesenangan,
kesengsaraan, kemelaratan, perjuangan, penderitaan, keyakinan, harapan,
obsesi dan berjuta-juta lagi yang namanya kenikmatan dan
ketaknikmatan
Dan ketika aku berada
di atas engkau bahagia,
engkau malah meminta agar lebih diatas lagi
dan tidak pernah meminta sesekali di bawah,
di samping kiri atau kanan, meskipun
kau menderita, namun penderitaan yang penuh kenikmatan, yang penuh penderitaan
Kau ajari anak-anakmu untuk meneladani aku,
kau tunjukkan anak-anakmu
jalan-jalan seperti yang aku tempuh,
kau beri petuah-petuah yang baik
dengan harapan anakmu akan baik,
setidaknya menyamai aku, jangankan melebihiku
Aku kembali merenung bila mengingat kau, meskipun aku punya kepercayaan terhadap Kau
Dari merenung, aku ke kaca, melihat wajahku yang jelek dan meremas
untuk
mencopot dari landasannya
Tapi wajahku yang lain lagi muncul
rupanya aku punya banyak topeng yang sedang
memainkan sebuah lakon seperti wayang orang,
aku bisa berperan apa saja dengan wajah apa pun
Setelah puas dan bosan, aku mencopot wajahku,
aku ingin
bertemu dengan wajah yang Kau berikan,
tapi itu tak bertemu, berkali-kali kucoba, berkali-kali pula gagal
Dibalik kegagalan ada ketidakgagalan dan di balik ketidakgagalan ada kegagalan.
Aku berpikir sebaiknya jangan di balik
Buang kata balik itu teriak batinku
aku membatin dan kembali merenung,
ku
coba melukiskan kata, ku ambil pena dan kertas,
di atasmu aku menulis, kugoreskan penaku, kau tersenyum, tapi dibalik senyum
muncul lagi semuanya
Penaku
telah meneteskan tinta-tinta dari inspirasiku yang datang dari-Mu
kau tersenyum, senyum perempuan.
Yogyakarta, 13194
PEREMPUAN II
Hermawan
Malam ini aku teringatmu sayang
ku coba merenung dengan konsentrasi terhadapmu
aku jadi ingat semua
kau dan lingkungan
kau dan anak
kau dan famili
Kau dan alam
Allahu akbar
Bila semua kau, kau, kau ku ingat
maka satu kau hilang
kau yang lain muncul
terakhir kau tatapan
kemapanan
Allahu akbar
Semua sahabat kau
aku anggap kau
semua senyum kau
aku anggap kau
karena kau tak di sampingku
muncul kau yang lain
akhirnya aku berserah kepada Kau
Ku mulai dengan Kau
aku bisa lupa tak ingat kau
sahabat kau
senyum kau
kau dan lingkungan
kau dan anak
kau yang aku anggap kau
kau ku kah itu
atau kau dan kau yang lain
Yogyakarta, 131194
JAKARTA
Hermawan
berlampu suluh
menapik sebuah wajah,
menapik sebuah wajah
murung mengkais-kais
nasi goreng untuk besok,
nasi goreng, untuk besok
Pohon itu layu sebelum mendapat angin
aku hidup setelah itu lagi.
Hari ini kepala ku hilang
ia pulang
tak berkepala akan
lagi ada
orang menyapa
melemparkan rokok
dewa tidak...
dewa... tidak
lacur...mungkin
Diskusi diteruskan lagi
besok...besok alunan itu ke itu
itu hilang dan itu tumbuh
tapi ia tetap hidup
Jakarta,
141284
AIDIL
Hermawan
Tangisan boneka
mengingatkan aku akan ibumu
kau masih kecil
ketika ibumu sedang buntil
Dan kau belum ada saat ini
sedangkan aku merindukan
aku dan ibumu juga
Sekarang kau ada
aku dan ibumu ada
kita mau apa
di dunia
nestapa
Padang, 22186
PATUNG
Hermawan
Di depan teater terbuka
ada tiga patung
yang satu buntung
datang suara mendengung
wahai ayah
apa itu puisi
tidak tahu isi
bunyi cecak membuat patung bergerak
temanku jadi gelak
tidak tahu apa itu bapak
Sebuah vespa meluncur
tidak tahu di mana lacur
lalu teman bertutur
hari esok akan kabur
seorang mahasiswa berkata
ayah menasehati dia
kalau pulang malam sia-sia
apa boleh buat itu susunan acara
Jakarta, 121284
DOA
Hermawan
Berikanlah sinar matahari-Mu
sebelum daun kering
dan zat hijau
sebelum mataku silau
Aku tetap berdoa
meskipun usaha tetap gaga
sekarang aku lega
kalau Engkau mau tertawa
Musim kering melanda negara
rakyat semua binasa
sekali lagi, aku hanya bedo'a
walaupun usaha gagal
Tuhan
Berikanlah sinar mataharimu
sebelum daun kering
Padang, 22186
BAYANG-BAYANG
Buat Supardi Djoko Damono
Hermawan
bayang-bayang setinggi aku
dan ia mengikuti aku ketika aku bersujud menghadap-Nya
Bayang tertawa di belakangku sambil berkata: "Sudah sempurnakah sujud kau ?"
Aku menjawab: "Kau sujud untuk siapa ?"
bayang-bayang tertawa sambil sujud dan
aku sujud sambil tertawa
Jakarta - Yogyakarta, 101993
HANG TUAH
Hermawan
Kau dibedah dan disanjung-sanjung
Kau hidup kembali
Kau dibedah disanjung dan dimaki
Kau hidup kembali
kenapa kau mau lagi dibedah
Kau hidup dimaki
Kau hidup disanjung
Kau hidup dibedah
Kau kini hidup lagi berupa hantu dan tuhan
Yogyakarta,
101993
SEPI I
Hermawan
tiada hilang
Sepi seper
tiarap di medan ilalang
Sepi seper
tikas yang gersang
Sepi seper
timbre sumbang
Sepi seper
timu tak berudang
Sepi seper
tigari kematian
Sepi seper
tika dibiarkan
Sepi seper
tikpi tak bersasaran
Sepi seper
tilgram kematian
Sepi seper
timbul berawan
Yogyakarta, 141294
SEPI II
Hermawan
Sepi seper
tijak malam hari
Sepi seper
timang tak berbayi
Sepi seper
timpuh semedi
Sepi seper
tin disemuti
Sepi seper
tingkalak tak berisi
Sepi seper
tiga raga rasi
Sepi seper
tikar terbengkalai
Sepi seper
tiku tepi ngarai
Sepi seper
tile tak bermempelai
Sepi seper
tilik tak sampai
Sepi seper
timbuk lepai
Sepi seper
tindak lunglai
Sepi seper
tingkat tak berlantai
Sepi seper
titian tak bersungai
Yogyakarta, 101294
Perkembangan Cerpen Sumatera Barat dalam Dua Dasawarsa: Satu Tinjauan Awal
Perkembangan Cerpen Sumatera Barat dalam Dua Dasawarsa: Satu Tinjauan Awal
Oleh Hermawan
Pembicaraan perkembangan cerpenis Sumatera barat adalah dalam rentang
waktu 1970-an hingga 1990-an. Perkembangan pengerang cerpen di Sumatera
Barat saat ini sangat menggembirakan terutama melalui media massa (baca:
surat kabar). Hal ini setidak-tidaknya tampak
dengan semakin bertambahnya jumlah cerpenis muda, baik secara umur
maupun secara kreativitas. Kreativitas cerpenis Sumatera Barat ini
dimulai semenjak adanya ruangan cerpen dan budaya pada surat kabar
harian yang ada di Sumatera Barat. Surat kabar tersebut
adalah Haluan, Singgalang, dan Semangat. Kesemua
surat kabar itu adalah harian, sedangkan ruangan cerpen ada pada hari
Minggu. Kemudian sekitar tahun 1980-an adalagi surat kabar Mingguan Canang
yang juga menyediakan ruangan cerpen.
Sebelumnya cerpenis Sumatera Barat belum begitu bergairah menulis
cerpen. Mereka hanya membentuk kelompok-kelompok penulis dan
mendiskusikan tentang kreativitas mereka pada Pusat Kesenian Padang
(PKP) saat ini bernama Taman Budaya Sumatera Barat. Dari PKP
tersebut lahirlah kelompok-kelompok penulis kreatif. Kelompok-kelompok
penulis kreatif tersebut mengembangkan kreativitasnya melalui surat
kabar Haluan dengan rubrik “Remaja Minggu Ini”, surat kabar Singgalang dengan rubrik “Teraju”,
dan surat kabar Semangat dengan ruangan “Seni Budaya”. Dari
ketiga surat kabar dengan ruangan budaya atau cerpen itu telah banyak
nama-nama cerpenis yang lahir seperti Chairul Harun, Rusli Marzuki
Saria, Darman Moenir, Harris Effendi Thahar,
Alwi Karmena, Wisran Hadi, Asneli Luthan, Makmur Hendrik, Abrar Yusra,
Leon Agusta (Ridwan Ilyas), Syarifuddin Arifin, Sofia Trisni, Indra Nara
Persada, Wandra Ilyas, Arius Bustamam, Ismet Fanany, Albusyra Basnur,
Emeraldi Chatra, Aryanto Thaib, Armansyah
Nizar, Dermawan Ilyas, Dasril Ahmad, Adek Alwi, Ray Fernandez, Abrar
Khairul Ikhirma, Inriani, Nita Indrawati Arfin, Free Hearty, Sastri
Bakry, Yusril, Irmansyah, Rini F, Jamrah, Luzi Diamanda, Ysurizal KW,
Gus Tf Sakai, Iyut Fitra, Sigit A. Yazid, Wannofri
Samry, Afrimen dan beberapa nama lainnya.
Nama-nama tersebut di atas tidak beberapa orang saja lagi yang masih
eksis saat ini atau berkarya sampai sekarang
dalam bentuk cerpen. Hal ini disebabkan beberapa hal yaitu, mereka
merasa puas dengan terbitan daerah saja; memilih profesi lain karena
dari segi ekonomi mereka kurang mendapat kehidupan yang agak lebih,
malah kurang; berkarya pada tingkat nasional atau luar
daerah Sumatera Barat; tidak dapat memenuhi selera dari redaktur surat
kabar. Dalam lima tahun belakang ini sudah ada usaha Dewan Kesenian
Sumatera Barat untuk menggairahkan penulis-penulis Sumatera Barat
melalui bengkel penulisan yaitu di INS Kayutanam yang
dikelola A. A. Navis.
Pada sisi lain peranan kritikus sastra dan peneliti sastra semakin
kurang eksis di Sumatera Barat. Hal ini ironis kalau dibandinngkan
dengan lulusan Fakultas sastra yang semakin banyak. Bagi peneliti di
kampus sudah mulai enggan menulis kritik di surat kabar karena
honorarium sedikit sehingga mereka cenderung mencari proyek penelitian
atau pemenuhan tugas sebagai staf pengajar.
Sekarang cerpenis Sumatera Barat mulai berkiprah di tingkat nasional melalui surat kabar ibu kota seperti Kompas, Republika, Pelita, Suara Karya, Merdeka, majalah-majalah
wanita, dan majalah sastra. Suatu hal yang menggembirakan karena Kompas adalah surat kabar yang terkemuka di republik tercinta ini. Cerpen-cerpen yang terbit di Kompas tersebut kemudian dipilih lagi untuk diterbitkan dalam kum;pulan cerpen
terpilih Kompas. Sudah ada enam kumpulan terpilih Kompas
semenjak tahun 1992 sampai 1997. Cerpenis Sumatera Barat yang paling
sering (malah satu kali absen) terpilih cerpennya adalah Harris Effendi
Thahar yaitu lima buah cerpen, A. A. Navis
yaitu tiga cerpen masuk dalam kumpulan cerpen terpilih Kompas.
Selain memublikasikan cerpen melalui surat kabar ada juga yang
dipublikasikan dengan
mener itkan kumpulan baik secara nasional dalam bentuk standar maupun
secara lokal dalam bentuk stensilan dan foto copy. Kumpulan cerpen
tersebut adalah Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis (1966) penerbit NV Bukittinggi dan Bianglala (1990)
penerbit Pustakakarya Grafitama Jakarta; Bermula dari Debu karya Syarifuddin Arifin (1982) diperbanyak Taman Budaya Sumatera Barat Padang, Gamang (1989) karya Syarifudin Arifin juga diperbanyak Taman Budaya Sumatera Barat Padang, Selusin
Cerpen (1986) karya Syarifuddin Arifin diperbanyak oleh HIMA Sastra Indonesia Universitas Bung Hatta Padang; Debu karya Dasril Ahmad (1986) diperbanyak oleh HIMA Sastra Indonesia Universitas Bung Hatta Padang, Topeng karya
Asneli Luthan
(1983) diterbitkan Balai Pustaka Jakarta; Perempuan dalam Perempuan
(1995) karya Free Hearty, Nita indrawati Arifin, Inriani, Sastri Yunizar
Bakry, dan Ivone de Fretes penerbit Forum Studi Wanita Tamening Padang;
Jelaga Pusaka Tinggi (1997) karya Darman Moenir
penerbit Angkasa Bandung. Kurangnya penerbitan cerpen dalam bentuk buku
ini juga menyebabkan para cerpenis memilih berkarya melalui surat
kabar.
Bila
diamati beberapa dari cerpenis di atas mengambil cerita yang berasal
dari kehidupan sehari-hari atau bertolak dari realita. Ini jelas
melihatkan akar budaya seni Minangkabau yaitu kaba. Cerita-cerita
tersebut diolah dengan teknis dan bentuk yang beragam. Ini
juga diakui A. A. Navis (Haluan, Senin, 14 Mei 1990) bahwa kreativitas sastrawan muda menulis hal-hal yang dekat dengan dirinya atau dengan lingkungannya.
Kesemua cerpen-cerpen yang ditulis oleh cerpenis Sumatera Barat, ada
beberapa bentuk yang menjadi perbedaan antara satu cerpen dengan cerpen
lainnya. Bentuk-bentuk itu adalah bertolak dari realitas dan mitos atau
peniadaan mitos dan gaya penulisan mitos yang
dimaksud di sini adalah sesuatu yang diyakini dan telah berakar kuat
dalam masyarakat sehingga berpengaruh terhadap perilaku masyarakat
tersebut (Hasanuddin WS, 1998). Gaya penulisan itu adalah cara pengarang
memapar cerita seperti penggunaan alur secara konvesional,
penggunaan gaya bahasa, dan teknik penyampaian reportase.
Untuk melihat perbedaan tersebut di atas akan diambil contoh cerpen-cerpen yang dikarang oleh A.
A. Navis dengan cerpen Datang dan Perginya dalam kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1966), Jodoh (mendapat hadiah Kincir Emas dari Radio Nederland Belanda tahun 1975), dan Malin Kundang, Ibunya Durhaka (dalam kumpulan
cerpen Bianglala, 1990). Harris Effendi Tahar dengan cerpennya Kartino 2082 (Singgalang, 1983), Dari Paris (dalam Lampor kumpulan cerpen pilhan Kompas, 1994). Asneli Luthan dengan cerpennya Topeng, Penjara, dan
Hantu (dalam kumpulan cerpen Topeng, 1983). Dasril Ahmad dengan cerpennya Debu, Pistol, Duri, dan Sampah (dalam kumpulan cerpen Debu, 1986). Darman Moenir dengan cerpennya Cuaca Mulai Berubah, dan Panorama
Yang Lain (dalam kumpulan cerpen Jelaga Pusak Tinggi), dan Syarifuudin Arifin dengan cerpennya Gamang dan Hamil (dalam kumpulan cerpen Gamang, 1989).
Keragaman bentuk dari cerpen-cerpen yang ditulis oleh cerpenis Sumatera
Barat ini telah memperkaya khazanah sastra umumnya dan daerah
khususnya. Diantara keragaman cerpen-cerpen tersebut ada tiga bentuk
yang lain dari cerpen-cerpen yang dihasilkan ileh cerpenis
Sumatera Barat. Hal ini terlihat pada A. A. Navis dan Harris Effendi
Thahar dengan teknik pemutarbalikan/penghilangan mitos, flash back dan bahasa sindiran. Asneli Luthan dan Dasril Ahmad dengan bentuk absurd. Darman Moenir dan Syarifuddin
Arifin dengan gaya reportase. Ini bukan berarti cerpenis yang adalah epigon dari tiga bentuk di atas.
Keunikan cerpen A. A. Navis sebagaimana dikemukakan
di atas adalah pemutarbalikan mitos dengan gaya flash Back dan bahasa sindiran. Ini jelas terlihat lewat cerpennya yang terkenal yaitu Robohnya Surau Kami, Yang Datang dan Yang Pergi, Jodoh, dan Malin Kundang, Ibunya Durhaka. Pada
cerpen Robohnya Surau Kami telah meniadakan mitos yang ada
saat ini. Mitos tersebut adalah bahwa seseorang yang dapat masuk sorga
bila rajin beribadah terhadap Tuhan, walaupun tanpa memikirkan
kehiduypan dunia. Dalam cerpen Yang Datang dan Yang
Pergi juga peniadaan mitos pada masyarakat bahwa beristri banyak
itu sangat diidamkan bagi semua pria, walaupun akan terjadi perkawinan
anak dengan anak karena sudah tidak bisa lagi mengontrol keturunan dari
banyak istri. Cerpen Jodoh meniadakan
mitos peran mamak atau keluarga dalam menentukan jodoh. A. A. Navis
memunculkan mitos baru bahwa perkawinan dan jodoh itu dapat ditentukan
lewat kontak jodoh pada surat kabar. Pemutarbalikan mitos lainnya adalah
pada cerpen Malin Kundang, Ibunya Durhaka.
Di dalam cerpen ini telah dibuat mitos baru bahwa selama ini pendurhaka itu adalah Malin Kundang diganti oleh ibunya.
Alur penceritaan flash back
dengan gaya bahasa sindiran atau ironis. Perhatikan pembukaan cerpen berikut;
Bila
jumlah wanita lebih banyak dari pria pada zaman lapangan kerja
menyempit hingga pengangguran berlimpahan, tidak sulit memperoleh
seorang
gadis untuk dijadikan istri. Sebab masyarakat masih memandang mereka
sebagai oknum yang menggelisahkan keluarga. Seolah perawan tua merupakan
cacat hidup yang mengandung dosa keluarga … (Cerita Pendek Indonesia 1,
Satyagraha Hoerip (ed.), 1986: 183).
dan penutupan cerpen
Badri merangkul istrinya sambil tertawa.
Mereka
sudah
lama nikah dan kini telah punya dua orang bayi yang demikian rapat
jarak kelahirannya … (Cerita Pendek Indonesia 1, Satyagraha Hoerip
(ed.), 1986: 188).
Malin Kundang
telah melambung namanya setelah banyak sastrawan
ikut mendongengkan menurut keperluan dan imajinasinya masing-masing.
Dari tokoh dongeng anak-anak telah menjelma menjadi tokoh yang
dimitoskan orang dewasa (Bianglala, 1990: 115)
Malin
Kudang meradang. Lalu berteriak hingga
bumi bergerak, - Engkau perempuan laknat. Kalau benar kau ibuku, aku
kutuk diriku agar menjadi baru. Biar semua orang tahu, Malin Kundang
lahir dari perut yang keliru (Bianglala, 1990: 120)
Harris Effendi Thahar hampir mirip namun bahasa sindirannya tidak setajam A. A. A. Navis. Ini terlihat pada cerpen Kartino 2082 (Singgalang) yang memutarbalikan kebiasaan wanita sebagai ibu rumah tangga digantikan oleh sang suami, dan cerpen Dari
Paris (Kompas, 1993) meniadakan angan-angan seorang Bapak yang sudah pensiun.
Keunikan Asneli Luthan adalah dan pembukaan cerpennya selalu dengan kejutan.
Ini terlihat pada pembukaan dan penutupan cerpen Calon Suami (kumpulan cerpen Topeng). Pembukaan;
Saya benar-benar bigung. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Mereka keterlaluan! Apa mereka pikir saya ini Kerbau
atau Sapi. Diseret ke lapangan, diadu, diperah, dijual? Begitu? (Asneli Luthan, 1983:9).
Penutupan;
Saudara
sayang sekali. Semua ini tak pernah terjadi (Asneli Luthan, 1983: 13).
Pada cerpen Topeng dibuka sebagai berikut;
Tepat ketika dia masuk ke arena, permainan baru dimulai. Tapi
serentak dengan itu, para pemain lainnya – yang entah berapa jumlahnya itu tidak jadi memulai (Asneli Luthan, 1983: 43).
Ditutup;
Sampai
cerita ini ditulis, perempuan itu masih berteriak
tiak hanya ke sana ke mari, tapi ke seantero dunia. Entahlah,
sekali-sekali dia mendengar sayup-sayup – entah di mana, orang
menjawabnya, kemudian hilang lagi.***
Catatan: perempuan dalam cerpen ini isa juga
dibaca sebagai laki-laki ataupun banci (Asneli Luthan, 1983: 52).
Kata-kata yang bermakna ganda ditemui dalam cerpen Penjara seperti kutipan berikut;
“Sebenarnya
saudarasaudara
tidak pantas memberikan reaksi seperti itu. Saudara-saudara tahu, saya
lepas dari penjara itu bukan dengan muah an gampang. Bukan dengan cara
begitu saja. Saya telah melalui ujian san cobaan-cobaan yang sangat
berat. Untuk akhirnya saya putuskan keluar dari
penjara itu. Itulah …”
Si Filsuf tiba-tiba angkat tangan dan langsung bicara.
“Saudara-adalah
seorang yang dangkal dan kosong. Buktinya saudara sendiri tidak tahu
bahwa
ujian dan cobaan-cobaan itu sendiri adalah penjara. Ah, lebih baik saya
tidak bicara dengan orang yang berotak udang,” katanya duduk kembali
dengan wajah merah. (Asneli Luthan, 1983: 65).
Atau pada cerpen Hantu;
Di luar kami duduk berkelompok. Kami berbincang lagi tentang hantu.
“Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja
kulihat pak guru seperti hantu,” kata seorang teman.
“Kalau aku, kulihat hantu itu mengejar lewat otak, mulut dan perutnya,” sela Hasan terkekeh.
Dengan begitu, cerita
hantu kami pun makin seru. Ditambah bumbu sana-sini, hantu itu makin seram (Asneli Luthan, 1983: 76).
Keunikan Dasril Ahmad kelihatan pada pengungkapan
ceritanya dengan kata-kata yang bermakna ganda (ambigu), suasana
memikat, puitis dan satire. Terkadang lepas dari jangkauan logika. Penuh
oerenungan dan sarat dengan makna dari setiap kata-katanya. Pemaparan
cerita tidak konvesional tetapi kadang-kadang meloncat
ke alam metafisika yang tidak terduga dari awal-awal ceritanya. Ini
terlihat pada cerpen Pistol, Smpah, Debu, dan Duri.
Pada awalnya cerpen ini mengangkat kata pistol, sampah, debu, dan duri
sebagai benda, namun di tengah atau akhir
cerita pembaca dibawa ke pikiran yang lain dari makna semula itu. Benda
yang ada dalam pikiran pembaca tiba-tiba berubah maksud seperti;
Kini
saya merasakan suatu perasaan aneh di ruangan itu. Karena mata saya
liar
menyapu segenap penjuru ruangan itu, kembali kesan semula saya peroleh
yaitu debu-debu yang bertumpuk-tumpuk di sana-sini. Anehnya lagi, mata
hati saya yang jeli sempat melihat debu-debu itu telah menembus kulit,
tulang, daging, dan kemudian masuk ek otak
kepala sekolah itu. Ketika saya melihat debu-debu itu siap pula
menyerang saya, maka cepat-cepat saya tinggalkan ruangan itu (Dasril
Ahmad, 1986: 29-30).
Keunikan Darman Moenir dan Syarifuddin Arifin terlihat dalam cerpen Mulai Berubah dan Panorama yang lain (dalam kumpulan cerpen Jelaga Pusaka TinggI), merupakan cerpen yanmg bertemakan potret-potret kehidupan dah ditulis dengan teknik
reportase. Kedua cerpen ini mencerita kehidupan keseharian bertetangga dan kehidupan bawahan dan atasan. Cerpen Cuaca Mulai Berubah
mencerita tentang seorang pegawai rendahan yang tinggal di perumahan
murah dan bertetangga dengan seorang pegawai pos.
Konflik terjadi saat salah seorang memperbesar bangunan rumahnya
sehingga timbul sengketa tentang perbatasan. Sedangkan, cerpen Panorama Yang Lain
mencerita kejujuran seorang wali negeri yang ditipu oleh atasannya
(camat atau bupati) terhadap uang
bantuan untuk pembangunan desa sehingga tidak cukup lagi sampai ke
tangannya untuk kelangsungan pembangunan desa. Begitu juga dengan cerpen
Syarifuddin Arifin yang berjudul Hamil dan Gamang (dalam kumpulan cerpen Gamang).
Perkembangan cerpen Sumatera Barat, sebagaimana
yang disebutkan di atas adalah dari penulisan di surat kabar. Kemudian
penerbitan sendiri dan penerbit lain. Kreativitas cerpenis
Sumatera Barat baru berkembang di daerah dan hanya beberapa orang saja
yang sampai ke tingkat nasional. Perkembangan cerpen Sumatera Barat ini
kurang ditanggapi oleh kritikus dan pengamat sastra Sumatera Barat.
Perkembangan tema-tema sesuai dengan keadaan kehidupan sosial yang ada
datau bertolak dari realita. Bentuk penulisan cerpen-cerpen Sumatera
Barat secara umum perkembangannya secara konvensional kemudian diikuti
dengan perkembangan teknik penulisan seperti
flash back, reportase, dan penggunaan bahas majas dan absurd.
Perkembangan publikasi tetap saja pada surat kabar dan majalah serta
masih dirasakan
kurang penerbitan dalam bentuk buku. Pada saat ini cerpenis Sumatera
Barat banyak yang memublikasikan cerpennya lewat surat kabar nasional.
Akhirnya cerpen-cerpen
yang dibicarakan ini tentulah belum menjadi barometer yang mutlak,
sebab penelitian yang lengkap belum dapat dilakukan dalam waktu yang
singkat. Selanjutnya tentu perlu penelitian yang lengkap. Terima kasih.
TENTANG SASTRA
TENTANG SASTRA
Oleh: Drs. Hermawan, M. Hum.
Sungguh suatu kebahagiaan ketika saya mendapatkan undangan panitia
seabad dan haul Soeman Hs. Saya ditunjuk sebagai pembicara. Sekitar
bulan Oktober 2003 saya pernah mengirim SMS kepada Saudara Dasri Al
Mubary untuk memberitahukan bahwa tahun 2004 adalah seabad Soeman Hs.
Saya berharap Dasri dan kawan-kawan mengadakan acara karena Soeman Hs.
salah seorang pemuka masyarakat Riau yang perlu dihormati. Apalagi dalam
dunia kesusasteraan Soeman Hs. termasuk perintis dan Bapak cerpen
Indonesia.
Ketika saya baca surat dari panitia seabad dan haul Soeman Hs. saya
sangat bahagia. Dengan tema yang sangat menarik yaitu “Dengan Haul
Soeman Hs. Mari Tingkatkan Kualitas Pendidikan dan Kreatifitas Anak
Bangsa Menuju Visi Misi Riau 2020”., kegiatan memperingati haul Suman
Hs. jadi juga terangkat. Saya menjadi bertambah bahagia. Kebahagiaan
bertambah lagi dengan disejajarkannya saya tampil sebagai pemakalah
dengan orang penting dan dipentingkan di Riau. Lebih lengkap lagi
kebahagiaan itu adalah tampilnya saya dari luar Riau. Terima kasih untuk
semua ini kepada panitia dan hadirin saat ini.
Berbicara tentang sastra memang amat menarik karena sastra merupakan
suatu dunia yang di dalamnya ada kehidupan. Banyak hal yang dapat
dibicarakan
melalui
sastra. Dalam sebuah karya sastra kita dapat melihat berbagai dunia dan
ilmu pengetahuan, sedangkan dalam berbagai ilmu pengetahuan kita belum
dapat melihat sastra. Inilah menariknya.
Sebuah karya sastra yang baik dan menjadi monumental akan selalu dapat
dibicarakan, dikaji dan diteliti tanpa usang. Membaca sebuah karya
sastra hari ini akan beda dengan membaca sebuah karya sastra yang sama
esok harinya, sehingga Hang Tuah, Romeo dan Juliet, Siti Nurbaya dan
lain-lain tidak bosan dan habisnya orang bicarakan. Setiap kali dibaca
sebuah karya sastra akan ada saja hal baru yang muncul, begitulah
seterusnya.
Bagi
kita pengumpul dan pecinta buku akan menjadi kaya seumur hidup baik
secara isi dari karya tersebut maupun secara koleksi, sebab mengoleksi
buku sastra berarti mengoleksi kebudayaan atau bahasa yang tak pernah
habis.
Apa benarkan sastra itu?
Sangat banyak defenisi tentang sastra dari berbagai pendapat. Kalau
ditulis mungkin akan menghabiskan kata-kata. Masing-masing kita juga
punya defnisi sendiri, tergantung dari mana kita mendefenisikan karya
tersebut. Saya mencoba mendefenisikan karya sastra ini adalah suatu yang
punya tokoh atau rekaan. Selain dari itu berarti bukan sastra karena
beda karya sastra dengan yang lainnya adalah tokoh atau rekaan itu.
Bagi pengarang sastra merupakan tempat “berlindung” karena pengarang
bisa bicara apa saja dan bila dituntut mereka berdalih itu sastra.
Walaupun seorang sastrawan menulis sebuah peristiwa faktual yang
benar-benar terjadi dalam masyarakat, orang akan tetap membacanya
sebagai sebuah karya fiktif. Sekiranya kita berandai-andai, bahwa Soeman
Hs. hidup masa sekarang dan menyaksikan peristiwa konflik antara Bupati
Kampar dengan para guru yang terjadi baru-baru ini lalu dia menulis
peristiwa itu sedemikian dramatis dan tragis dalam sebuah cerpen orang
tidak akan dapat menuntut Soeman Hs. Akan tetapi bila seorang wartawan
menulis peristiwa tersebut tidak faktual dalam sebuah berita, maka
wartawan tadi dapat dituntut karena membuat berita tidak sesuai dengan
fakta yang terjadi di lapangan. Jadi sebuah karya yang berasal dari
sumber yang sama akan mempunyai dampak yang berbeda ketika karya itu
ditulis dengan niat yang berbeda. Satu diniatkan sebagai karya sastra
dan yang lainnya diniat sebagai berita.
Bangun
tidur kita bersastra dengan ungkapan kata-kata: “Aku mimpi menggosok
gigi/ketika bangun gigiku tinggal dalam mimpi/aku tidur lagi ambil itu
gigi/ dalam tidur aku mimpi gigiku menggosok-gosok…”
Mau tidur waktu kecil dininabobokan dengan sastra didendangkan dengan
pantun-pantun atau cerita-cerita tentang pahlawan dan sebagainya.
Sastra bahasa yang indah. Sastra tidak menjadi indah bila tanpa bahasa.
Bahasa dapat indah tanpa sastra. Yang menentukan indahnya bahasa bukan
sastra, tetapi sebaliknya yang menopang keindahan sastra adalah bahasa.
Menurut Islam yang pertama ada itu adalah Kalam atau bahasa. Akan tetapi
uniknya, di Yunani bahasa digunakan sebagai medium untuk mengungkapkan
persoalan-persoalan filsafah secara sastrawi. Baca Homerus misalnya.
Homerus adalah karya sastra pertama di dunia yang ditulis oleh
Aristoteles. Begitu juga di negeri kita ini, pelajaran-pelajaran moral,
pendidikan, hubungan antar manusia diungkapkan secara sastrawi. Baca
saja misalnya pantun bidal, mamang atau kaba. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa bahasa secara tradisional digunakan secara sastrawi.
Kesusasteraan adalah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan
atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkn peristiwa
kehidupan masyarakat atau anggota masyarakat. Sangat sulit memang
seorang sastrawan menciptakan suatu masyarakat imajinatif dalam sebuah
karya sastra tanpa mengindahkan masyarakat objektif yang berada di luar
sastra. Dalam sastra konvensional tidak pernah kita temukan kehidupan,
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat imajinatif yang
bertentang dengan kehidupan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
masyarakat objektif. Tidak ada suatu kejadian yang terjadi dalam
masyarakat imajinatif yang tidak terdapat dalam masyarakat objektif.
Kalaupun ada itu disebut absurd. Akan tetapi, dalam sastra absurd pun
tidak semua kejadian dalam masyarakat imajinatif yang bertentangan
dengan masyarakat objektif, kecuali untuk sebagian kecil kejadian. Baca
saja misalnya karya Iwan Simatupang “Merah Merah”. Dalam novel ini,
seorang tokoh jatuh dari gedung tinggi ketika terik panas matahari. Dia
jatuh di atas tubuh seorang gadis yang ketika lewat di sana. Di atas
aspal jalan yang panas itu dia menimpa tubuh gadis itu dan kemudian
langsung bersetubuh. Dia tidak mati dan gadis itu pun tidak mati.
Peristiwa itu dalam kehidupan nyata tidak akan pernah terjadi. Ini
bertentangan dengan realitas yang sebenarnya. Tetapi dapat dibenarkan
dalam realiatas imajinatif. Absurd memang, karena karya itu merupakan
karya sastra absurd.
Secara ringkas dapat dirumus pengertian kesusasteraan sebagai berikut.
- Seni bahasa (STA)
- Tafsir hidup, seperti hidup itu tergantung dalam pikiran orang yang menafsirkan (W. H. Hudson)
- Keindahan yang dilahirkan oleh bahasa ialah bahasa kesenian, bahasa atau seni sastra (Madong Lubis)
- Penjelmaan Pribadi yang luhur dengan kata/bahasa dalam bentuk yang tepat (A. Samidi)
- Suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek & Warren)
Perkembangan
keadaan sastra sekarang sangat baik, terutama sastra koran. Sastra
koran muncul ketika rubrik budaya ditempatkan sebagai salah satu rubrik
dalam kolom-kolom surat kabar. Melalui rubrik itu terbuka peluang yang
besar untuk berkembang sastra. Banyak penulis mengisi kolom rubrik itu
dengan berbagai karya sastra, apakah itu cerpen, puisi atau kritik
sastra. Dengan munculnya rubrik budaya tersebut, perkembangan sastra
semakin marak. Banyak bermunculan penulis-penulis baru, pendatang baru
dalam dunia sastra. Bahkan diantaranya ada yang mengukuhkan diri sebagai
sastrawan, dan mengembangkan dirinya, sehingga dia tidak lagi hanya
menulis dikoran akan tetapi telah menerbitkan buku-buku sastra, apakah
berbentuk kumpulun puisi, kumpulan cerpen atau sebuah novel. Di sisi
lain ada juga yang kemudian lenyap disapu angin, tak berbekas, sehingga
orang lupa akan namanya. Dia tidak pernah hidup lagi.
Banyak karya sastra
yang diterbitkan dalam bentuk buku, namun distribusinya masih kurang.
Penerbit masih mempertimbangkan nilai bisnis ketimbang mempertimbangkan
peningkatan apresiasi masyarakat. Oleh karena itu, oplah penerbitan buku
sastra relatif kecil karena diragukan akan habis terjual. Akibatnya
distribusi penjualan buku-buku sastra hanya terbatas di kota-kota besar
dan toko-toko buku tertentu saja. Jikalau kita membutuhkan sebuah buku
sastra kita tidak mendapatinya disembarang tokoh buku. Harus dicari pada
toko buku tertentu, seperti Gramedia atau Angkasa kalau di Padang. Di
toko-toko kecil kita tidak akan menemukan buku sastra.! Oleh karena
itulah apresiasi sastra di masyarakat relatif rendah karena kurangnya
karya sastra terdistribusi. Penyebab lain adalah kurangnya apresiasi
pengajar sastra (baca Horison Desember 2003).
Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan apresiasi sastra
kepada masyarakat namun hasilnya masih kurang, seperti yang dilakukan
SBMM (Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca). Malahan mahasiswa sastra dan
pengajar sastra banyak yang tidk membaca karya sastra.
Soeman Hs. telah memulai bersastra, namun kurang terlanjutkan oleh
pengarang berikutnya terutama tentang cerita detektif dan humor. Cerita
detektif dan humor hanya kita jumpai dalam bentuk media audiovisual.
Tidak adanya penerus Soeman Hs. barangkali disebabkan tidak banyak
generasi kita yang meminati masalah detektif dan humor. Menggarap
cerita detektif memerlukan banyak pengetahuan, baik yang berkaitan
dengan psikologi, intelejen dan masalah-masalah medis. Artinya, menulis
cerita detektif, tidak saja dituntut ketrampilan menulis, menyusun
adegan-adegan sehingga menarik untuk dibaca tetapi juga keahlian lain
yang berkaitan dengan dunia kejahatan. Hal yang semacam tidak tidak
dimiliki oleh generasi kita sekarang.
Menulis humor ini apalagi. Kita bisa saja menertawakan orang atau diri
sendiri, tetapi kita tidak bisa membuat orang tertawa ketika membaca
tulisan kita. Kalaupun mungkin, orang mungkin akan tertawa dengan apa
yang kita tulis. Karena kita tidak ingin ditertawakan orang, maka
generasi kita kurang meminati menulis karya-karya yang dapat menyebabkan
orang tertawa. Oleh karena itu, Soeman Hs. tetap sendiri dalam
kesendirinya. Marilah kita renungkan makna kesendirian itu
sendiri-sendiri, sebaris-sebaris, tanpa kata dan suara.
Demikianlah tentang sastra. Terima kasih
Pendidikan Sastra: Pengembangan Wawasan Guru
Pendidikan Sastra: Pengembangan Wawasan Guru
Oleh: Drs. Hermawan, M. Hum.
Sastra
adalah penjelmaan keindahan melalui medium bahasa dan mengutarakan
pesan verbal bagi khalayak pembacanya. Kesanggupan untuk menemukan matra
keindahan itu tentunya dipengaruhi oleh pengenalan bahasa dan terlebih
lagi oleh penguasaan berbahasa. Mengenal bahasa tidak dengan sendirinya
berarti menguasainya sebagai medium ekspresi yang cukup meleluasakan
pilihan gaya bagi penggunanya. Begitu pula cukupnya pengetahuan tentang
tatabahasa dan kekayaan kosakata semata-mata belum menjadi jaminan bagi
pemahaman sastra, apalagi untuk menangkap dan menghayati nilai estetik
yang terpantul melalui verbalisasi.
Pengenalan
dan penguasaan bahasa sebagai medium komunikasi memang menjadi dasar
untuk selanjutnya dikembangkan sebagai kesanggupan memahami sastra,
namun tidak pada sendirinya merupakan sehimpunan anasir yang siap untuk
menikmati karya sastra sebagai perwujudan estetika melalui medium
bahasa; untuk tujuan ini diperlukan kecanggihan yang berbentuk melalui
pembekalan sepanjang berlangsungnya proses didaktik dan otodidak.
Pendidikan
adalah proses yang menyertai perkembangan manusia sepanjang hayatnya,
ia bukan saja mampu melancarkan ikhtiar untuk mendidik, namun juga
diterpa oleh banyak faktor yang mempengaruhi pendidikan dirinya
sendiri. Manusia adalah animal educandum dan animal educandus sekaligus,
proses didik-mendidik ini berlangsung terus menerus serta turun
temurun. Melalui proses pendidikan ini berlangsunglah evolusi manusia
sebagai makhluk berprilaku yang dalam kelanjutannya menjelma sebagai
umat yang bermatra peradaban dan kebudayaan.
Bagaimana
kita meninjau pertautan antara sastra dan pendidikan. Apakah masalahnya
berkenaan dengan pengajaran sastra melalui berbagai jenjang pendidikan
sekolah; ataukah sastra bisa berperan sebagai sarana untuk menimbulkan
dampak didikan, dan erat kaitannya dengan pertanyaan itu, mungkinkah
sastra berfungsi sebagai sumber daya yang bisa mempercanggih wawasan
guna memahami perilaku dan kondisi manusiawi. Pertanyaan tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut, sejauh mana sastra punya nilai pedagogik dan
fungsi didaktik yang berdampak positif bagi perkembangan pribadi?
Perihal
pengajaran sastra melalui pendidikan sekolah sudah banyak
diperbincangkan dalam berbagai forum dan media, namun yang sering
diutarakan ialah persoalan sekitar kurangnya porsi kurikuler bagi
pengenalan dan pemahaman sastra sebagai bagian dari keseluruhan acara
pelajaran bahasa. Segi lain yang tampaknya menjadi sorotan ialah
kesanggupan guru bahasa untuk menyajikan materi pelajaran sastra melalui
metodik yang efektif dan pendekatan yang sesuai asas didaktik. Kedua
kendala tersebut tidak begitu mudah dapat diatasi, mengingat keseluruhan
beban kurikuler di sekolah terbagi dalam porsi yang terbatas untuk
berbagai mata pelajaran dan disesuaikan dengan tuntutan guna memenuhi
tujuan pendidikan pada suatu jenjang pendidikan.
Pendidikan
sastra adalah pendidikan yang kreatif. Sastrawan adalah penulis
kreatif. Persoalannya, kenapa di masa lalu pendidikan sastra tak dapat
maju? Barangkali karena saat itu tidak begitu diperlukan orang-orang
kreatif. Ini disebabkan pola pembinaan di masa itu adalah pola militan
dan komando. Bila ada orang yang kreatif, maka sistem komando atau
militan itu tidak bisa berjalan. Kenapa sewaktu di taman kanak-kanak ada
belajar seni? Ini disebabkan sewaktu kecil anak-anak perlu kreativitas.
Kita dapat menyaksikan di taman kanak-kanak atau prasekolah itu yang
pertama diajarkan adalah seni menggambar, menyanyi, bercerita, bermain,
menyusun, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah mulai tumbuh maka
kreativitas itu mulai dikurangi dengan jalan hafalan. Sistem pendidikan
yang diperlukan cenderung upaya untuk memenuhi NEM pada Ebtanas.
Kreativitas
tidak saja diperlukan oleh murid, melainkan juga oleh guru dan didukung
prasarananya yang memadai. Bila guru tidak kreatif dan prasarananya
tidak memadai untuk menciptakan lingkungan kreatif, maka hasilnya tentu
saja tidak memuaskan. Kreativitas guru bukan dituntut begitu saja,
tetapi faktor penunjang kreativitas guru itu pun perlu diperhatikan.
Bila dulu guru dihadapkan dengan GBPP yang terkomando maka sekarang
tidak lagi demikian. Rasanya tidak perlu lagi segala sesuatu itu dalam
bentuk sama atau seragam. Bukankah semboyan di kaki burung garuda adalah
Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman menjadi satu. Inilah yang terjadi
selama ini. Bila di suatu sekolah atau daerah, misalnya, ditentukan
sebagai buku wajib untuk sebuah novel adalah Siti Nurbaya atau puisi
adalah sajak Aku, maka daerah lain juga diwajibkan begitu. Padahal tidak
harus demikian. Akibatnya semua siswa di nusantara ini hanya dikenalkan
dengan Marah Rusli dan Chairil Anwar saja.
Kalau
seperti ini halnya maka akan janggal bila seorang anak bertemu puisi
atau karya sastra lainnya yang berbeda isi dan bentuk. Misalnya sajak
Aku dalam bentuk lain berjudul Semangat. Cerita Malin Kundang misalnya
ada beberapa bentuk. Bila dahulu kita kenal cerita Malin Kundang
dinyatakan kedurhakaan anak terhadap ibu, maka dalam bentuk lain A. A.
Navis cerita Malin Kundang itu dinyatakan ibunya yang durhaka. Menurut
Wisran Hadi, Malin Kundang tidak durhaka tetapi tukang rebab
(penceritalah) yang menyelesaikan cerita jadi lain. Bila Malin Kundang
itu menurut cerita lama menjadi batu, menurut Umar Junus menjadi pohon
pisang. Mungkin lain lagi menurut versi-versi lain.
Bila
kejadian seperti demikian, maka tentulah guru akan sulit menerangkan
atau meyakinkan siswa akan kebenaran cerita Malin Kundang yang dahulu
itu. Hal-hal seperti ini diperlukan kejelian guru dengan memperkaya
bacaan-bacaan tambahan. Dalam proses kreativitas penulis atau sastrawan
tidak saja lagi berdasarkan kehidupan dirinya sendiri atau realitanya
sendiri, tetapi bisa saja berdasarkan pengalaman orang lain. Misalnya
novel Saman karya Ayu Utami yang sangat laris dan terkenal itu. Dalam
wawancara beberapa waktu yang lalu, Ayu Utami menjelaskan bahwa
sebenarnya ia belum pernah hidup di Palembang, namun ia bisa bercerita
banyak tentang Palembang. Hanya sekali saja ia datang ke anjungan minyak
lepas pantai, namun hasil tulisannya mengesankan ia telah
bertahun-tahun di sana. Begitu juga dengan cerita bersambung berjudul;
Si Bungsu karya Makmur Hendrik yang mengisahkan tentang kehidupan rezim
Yakuza di Jepang. Padahal Makmur Hendrik menginjak Jepang setelah novel
itu selesai. Begitu juga dengan cerita-cerita silat Ko Ping Hoo, penulis
cerita silat yang terkenal itu.
Kreativitas
perlu pula didukung oleh prasarana, diantaranya perpustakaan. Buku-buku
yang ada hendaknya sesuai dengan kebutuhan kreativitas siswa. Sebentar
lagi semua perpustakaan memerlukan internet. Sebentar lagi orang
bertutur bisa dibaca melalui layar kaca.
Kita
perlu memikirkan ini untuk antisipasi ke depan. Mampukah para guru
berbuat demikian? Di sinilah diperlukan ideologi keguruan seseorang.
Bicara mengenai ideologi guru saat ini sangat kurang sekali. Banyak guru
menginginkan kenaikan kesejahteraan atau gajinya. Itu merupakan
keinginan yang wajar. Akan tetapi, bila gaji dan kesejahteraan guru itu
dinaikkan, belumlah jaminan seorang guru akan menjadi lebih baik (baca
kreatif) kalau ideologi keguruannya kurang.
Peran
karya sastra sangat banyak yang perlu disampaikan kepada siswa. Sastra
bukan saja untuk dibaca dan dinikmati sebagai tugas belajar, tetapi
memegang peran yang lebih luas lagi. Karya sastra dapat saja sebagai
sarana peneguhan struktur sosial masyarakat, seperti Cindur Mato dan
Sejarah Melayu (karya masterpiece dalam khazanah sastra Minangkabau dan
Melayu yang diciptakan dalam rangka peneguhan struktur sosial pada waktu
itu. Raja yang diakui sebagai pemimpin masyarakat itu adalah pemegang
kekuasaan tertinggi. Kebesaran negara didukung oleh citra rajanya yang
berkekuasaan tinggi. Sebagai penguasa tertinggi, kekuasaannya dibatasi
oleh kemahakuasaannya Tuhan. Raja harus “adil pada memeliharakan
rakyat”, “bijaksana”, “baik barang lakunya”, dan tidak memiliki cela.
Raja yang menghukum rakyat dengan tiada salah, hancurlah negaranya.
Terhadap raja yang idaman yang berdaulat itu, rakyat pun tidak boleh
durhaka. Kedurhakaan rakyat akan membawa malapetaka bagi masyarakat dan
negara. Pranata sosial demikian dapat hidup terus dari generasi ke
generasi.
Karya
sastra juga sebagai cerminan gejala yang muncul dalam masyarakat dan
cenderung memperlihatkan tragedi sosial ditujukan oleh kondisi
masyarakat yang makin cenderung memperlihatkan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi, semakin sulitnya mendapatkan lahan untuk bekerja,
kesenjangan sosial yang makin melebar, birokrasi yang terlihat kencang
meningkatkan langkah-langkah kerja, kerja yang tidak efisien berhamburan
sia-sia, juga oleh kelaparan yang muncul di berbagai belahan bumi
Indonesia. Terlihat dalam sajak Taufiq Ismail dengan judul Kembalikan
Indonesia Padaku.
Karya
sastra dapat merubah citra suatu masyarakat. Hal ini dapat dilihat
berubahnya kehidupan masyarakat yang dahulunya lebih suka mengawinkan
anak perempuan berdasarkan kehendak orang tua, namun setelah adanya
novel Siti Nurbaya yang menjadi pameo masyarakat menjadi perempuan muda
tidak mau saja lagi dijodohkan oleh orang tua. Banyaknya lelaki yang
poligami sehingga tidak tahu lagi anak seayah menikah. Hal ini
dilukiskan oleh A. A. Navis lewat cerpen Datangnya dan perginya yang
kemudian dikembangkan menjadi novel Kemarau. Begitu juga dengan novel
Chairul Harun yang dapat merubah sikap orang Pariaman suka bersuami
banyak atau kawin dengan janda. Perubahan sikap para kiai yang selalu
memikirkan sorgawi saja daripada duniawi telah dapat tersadarkan melalui
cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. A. Navis. Emha Ainun Najib
dengan karyanya Slilit Sang Kiai telah dapat menggerakkan hati
sekelompok mahasiswa dan bertindak lebih hati-hati terhadap harta milik
orang lain.
Karya
sastra dapat juga dilihat secara intertekstual, di mana dalam karya itu
akan ada teks atau karya lainnya. Naskah cerita Puti Bungsu katya
Wisran Hadi akan mengingatkan kita terhadap cerita Malin Kundang dan
kompleks cerita Malin Deman.
Dalam
karya sastra dapat juga dilihat unsur tidak cerita dan cerita. Misalnya
banyak orang menyangkutkan kisah Siti Nurbaya itu memang kejadian
sebenarnya karena di dalam novel tersebut ada tempat-tempat yang memang
ada seperti puncak bukit gado-gado tempat bermain ayunan Siti Nurbaya
serta kuburannya. Pada cerita-cerita klasik atau tradisional juga
demikian. Kebanyakan orang setelah mendengar kaba Minangkabau merasa
yakin betul bahwa cerita itu seakan-akan benar terjadi. Cerita adu
kerbau di Minangkabau dianggap cerita yang sebenarnya, sehingga kata
Minangkabau berarti menang kerbau. Cerita Malin Kundang juga demikian
karena di tempat kejadian dalam cerita itu memang ada batu yang mirip
kapal dan dermaga. Malahan sekarang relief cerita Malin Kundang itu
dibuat sesuai dengan yang sebenarnya.
Akhirnya
karya sastra mempunyai peran fungsional dalam masyarakat antara lain
memberikan hiburan, ketenangan batin, peredam kemarahan, melembutkan
hati yang keras, sarana pembangkit dan pengibar semangat juang, menjadi
sarana pengajaran yang efektif, sarana penegak tata sosial, pemberi
informasi tentang pelajaran moral dan agama, serta pemberi informasi
tentang berita sejarah dapat dilihat dari berbagai sudut dan segi. Karya
sastra tidak dapat dimaknai untuk sekali baca saja. Bahkan setiap kali
kita baca akan muncul persepsi dan makna yang baru.
Daftar Pustaka
A. A. Navis. 1990. Bianglala Kumpulan Cerpen. Jakarta: Pustakakarya Grafikatama
--------------. 1967. Kemarau. Bukittinggi: Nusantara
Chairul Harun. 1979. Jakarta: Pustaka Jaya
Emha Ainun Nadjib. 1996. Slilit Sang Kiai. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Fuad Hasan. 1993. Catatan Perihal Sastra dan Pendidikan. Makalah seminar
Internasional Sastra, Film, dan Pendidikan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Marah Rusli. 1990. Siti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka
Siti Chammamah Soeratno. 1994. Sastra dalam Wawasan Pragmatis Tinjauan atas Azas Relevansi di dalam Pembangunan Bangsa. Pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Umar Junus. 1993. Dongeng tentang Cerita. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia
Wisran Hadi. 1985. Liem Khoon Doang. Padang: Bahan Program Ceramah Penulisan Kreatif di Museum Adhityawarman
Kemarau: Pengarang dan Pembaca Suatu Komunikasi
Kemarau: Pengarang dan Pembaca Suatu Komunikasi
Drs. Hermawan, M. Hum.
1. Pendahuluan
Ali
Akbar Navis, atau lebih dikenal dengan A. A. Navis, pertana sekali nama
melejit dalam cakrawala sastra Indonesia modern ketika cerpen Robohnya Surau Kami dimuat di majalah Kisah dan sekaligus dinyatakan oleh majalah Kisah
sebagai cerpen terbaik tahun itu. Cerpen yang berbicara tentang tingkah
laku seorang penjaga surau dan beribadat kepada Allah. Kakek Garin, si
penjaga surau itu, mendapat simpati dari masyarakat sekitarnya;
setidaknya, orang-orang di sekitarnya tidak pernah mempersoalkan cara
beribadat itu, sampai pada suatu kali muncul Ajo Sidi yang tiba-tiba
menghancurkan landasan bangunan kepercayaan kakek itu. Lelaki yang
disebut tukang bual itu mendongeng kepada Kakek Garin mengenai Haji
Saleh yang menerima murka dari Allah dan masuk neraka bersama-sama
dengan haji-haji yang lain meskipun merasa selama hidupnya senantiasa
mengagungkan nama Allah swt. Mendengar dongeng semacam itu, Kakek Garin
yang berpikiran sederhana itu merasa tersindir. Ia putus asa sebab
segala yang dilakukannya di dunia selama ini ternyata keliru; itulah
sebabnya akhirnya ia bunuh diri.
Cerpen-cerpen yang dibuatnya setelah cerpen Robohnya Surau Kami ada sebanyak 9 buah yang akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan cerpen di bawah judul Robohnya Surau Kami. Satu lagi diantara cerpennya yang menarik adalah cerpen yang berjudul Datangnya dan Perginya.
Cerpen yang mengisahkan tentang seorang yang terlalu banyak kawin,
sehingga anaknya sendiri telah kawin dengan anaknya yang lain. Begitu
cara Navis memberikan sindiran terhadap masyarakat lingkungan yang pada
waktu itu merupakan kebanggaan bila punya istri lebih dari satu. Pada
cerpennya yang lain menyindir tentang jodoh seseorang yang selalu
ditentukan oleh kaum keluarga. Melalui cerpen Jodoh, Navis
telah memenangkan sayembara Kincir Emas yang diselenggarakan Radio
Nederland Weredomroep tahun 1975. Cerpen yang bercerita secara flash back ini
mengisahkan tentang seseorang yang mendapat jodoh dari iklan surat
kabar, padahal jodoh itu seharusnya ditentukan oleh kaum keluarga atau mamak (paman) sebagai kebiasaan (adat) daerah tokoh itu bermukim.
Jika dijajarkan semua karya Navis terutama dengan karyanya yang tersebut di atas dengan novel Kemarau
ini terlihat ada suatu maksud pengarang yaitu ingin merombak sistem
hidup atau pandangan hidup masyarakatnya terhadap hal-hal yang menjadi
keyakinannya. Masyarakat sekitar pengarang saat itu selalu suka
ikut-ikutan, tidak yakin dengan keyakinan yang dianutnya. Apalagi zaman
saat itu masih dalam keadaan revolusi. Hal lain adalah kemalasan yang
terjadi pada masyarakat. Tidak mau bekerja keras. Masyarakat maunya
menerima apa adanya, atau mencari hal-hal yang mudah dikerjakan dengan
untung yang lebih baik atau lebih besar. Kakek (Garin) yang selalu
beribadat kepada Allah swt tanpa berusaha bekerja untuk menghidupi
keluarganya. Ia hanya menerima upah sebagai Garin (penjaga surau) dari
orang yang sembahyang di Surau itu, atau mendapat sumbangan dari hasil
kolam di depan surau itu bila dipanen dan menerima upah bila ada orang
yang mau mengasah pisau atau gunting, meskipun kadang-kadang upah
tersebut tidak terlalu diharapkannya. Begitu juga masyarakat yang ada
dalam novel Kemarau yang dilanda kekeringan, mereka tidak mau
berusaha, malah mereka lebih senang ke dukun untuk mengubah keadaan,
atau berserah diri kepada Tuhan, dan manakala kedua usaha tersebut
terbentur maka mereka senang main domino. Gambaran atau karikatur yang
merupakan sindiran ini selalu dimunculkan oleh Navis.
Tokoh aku dalam cerpen Datangnya dan Perginya
juga di-gambarkan sebagai seorang tokoh yang melalaikan tanggung jawab
terhadap keluarga sehingga tokoh tersebut tidak tahu bahwa anaknya dari
istri yang satu telah kawin dengan anaknya dari istri yang lain.
Meskipun akhirnya dapat diceraikan namun telah menimbulkan akibat yang
fatal karena sudah mempunyai keturunan. Harapan dari tokoh aku yang
sudah bertaubat juga tidak tercapai karena telah melalaikan tugasnya,
yaitu membiarkan anak sama anak kawin. Sindiran-sindiran terhadap
masyarakat yang malas dan tidak mau bekerja keras. Sindiran terhadap
para mamak (paman) kaum yang selalu menentukan jodoh anak kemenakannya (dalam cerpen Jodoh).
Sindiran terdahap sese-orang yang lebih mementingkan beramal daripada
memberi nafkah kepada keluarga sebab beramal dengan selalu beribadat
kepada Tuhan akan mendapat hidup yang baik di akhirat dalam cerpen Robohnya Surau Kami.
Tokoh Sutan Duano dalam novel Kemarau,
dilukiskan pengarang sebagai tokoh yang ulet dan suka bekerja keras. Ia
juga seorang yang taat menjalankan perintah Tuhan sehingga masyarakat
mengaguminya sebagai tokoh yang pantas ditiru. Ia juga ingin merombak
sistem hidup masyarakat lingkungannya yang suka malas-malasan. Ketika
terjadi kemarau panjang, ia mencari air dengan mengangkut dari danau.
Air dibawa dengan kaleng bekas minyak tanah dari danau. Ia ambil untuk
menyirami sawahnya. Pekerjaan ini dikatakan pekerjaan orang gila. Beda
dengan tokoh Kakek Garin. Sutan Duano di samping bekerja keras, ia juga
diangkat sebagai penjaga surau yang sekaligus guru mengaji. Semua hasil
pencahariannya diberikan kepada masyarakat. Sementara masyarakat mulai
tertarik dengan sifat sosial Sutan Duano, apalagi ketika Sutan Caniago
berhasil dipinjami uang untuk merantau hidup di kota, tanpa meminta
bunga hasil pinjaman. Meskipun, dengan menggadaikan hasil panen padinya,
Sutan Caniago merasa tidak menggadaikan hasil panen tersebut. Sutan
Caniago hanya dipinjami uang secara cuma-cuma. Begitu juga dengan Haji
Syamsiah yang kekurangan uang untuk naik haji, dipinjami uang oleh Sutan
Duano tanpa meminta bunga. Walau Haji Syamsiah dan hutang Haji Syamsiah
tidak perlu dibayar, sebab dari hasil pohon kelapa selama tergadai
kepada Sutan Duano telah menghasilkan uang yang bahkan lebih dari hutang
Haji Syamsiah semula.
Kepekaan
pengarang terhadap lingkungannya dan wawasan tentang agam dan kebiasaan
masyarakat menjadikan masalah-masalah yang menarik untuk diangkat ke
dalam suatu karya sastra. Hal ini tercermin dari karya-karyanya yang
selalu merupakan sindirian yang tajam kejadian masyarakat sekelilingnya,
sehingga membuat karyanya nikmat untuk dinikmati. Apalagi gaya khas
sindiran yang dimiliki pengarang dan ditambah dengan bahasanya yang
mudah dipahami oleh masyarakat pembaca seperti kutipan berikut ini.
Musim
kemarau di masa itu sangatlah panjangnya. Hingga sawah-sawah jadi
rusak. Tanahnya rengkah sebesar lengan. Rumpun padi jadi kerdil dan
menguning sebelum padinya jadi terbit. Semua petani mengeluh dan putus
asa. Orang-orang mengomel perintah yang menyuruh mereka agar dua kali
turun ke sawah di tahun itu. Setengah bulan setelah benih ditanam,
bendar-bendar tak mengalir air lagi karena hujan sudah lama tidak turun.
Setiap pagi dan setiap sore para petani selalu memandang langit, ingin
tahu apakah hujan akan turun atau tidak. Tetapi langit selalu cerah di
siang, dan alangkah gemerlapnya di malam hari dengan bintang-bintang.
Dan setelah tanah sawah mulai merengkah, mulailah mereka berpikir. Ada
beberapa orang pergi ke dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan
menurunkan hujan. Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah
setumpukan sabut kelapa dipanggangnya beserta sekepal kemenyan. Hanya
asap tebal yang mengepul di sekitar rumah dukun itu terbang ke awang
bersama manteranya. Dan setelah tak juga keramat dukun itu memberi
hasil, barulah mereka ingat pada Tuhan. Mereka pergilah setiap malam ke
mesjid mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta
hujan. Tapi hujang tak kunjung juga turun. Ketika rengkahan sawah
sebesar betis, rumput-rumput dan belukar sudah menguning, sampailah
putus asa ke puncaknya. Lalu mereka lemparkan pikirannya dari sawah,
hujan setetespun tak mereka harapkan lagi. Sebab meskipun hujan akan
turun juga saat itu, tidaklah ada gunanya bagi sawah mereka. Dan untuk
membunuh putus asa, mereka lebih suka main domino atau main kartu di
lepau-lepau (Navis, 1992: 1).
Gaya bahasa sindiran ini mengingatkan kita akan Robohnya Surau Kami yang punya gaya bahasa sindiran sebagai berikut.
“Kalau
ada, kenapa kau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya
semua. Sedangkan harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk
anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri,
saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi
kau malas. Kau lebih suka ber-ibadat saja, karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.
Sedangkan
aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana
engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka
pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan
menyembahKu saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat
halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di kerak neraka”
(Navis,1966: 19).
Kesegaran
gaya bahasa sindiran inilah yang membuat pembaca karya Navis lebih enak
untuk menyelesaikannya. Gambaran-gambaran yang hidup di tengah
masyarakat berhasil ditangkap oleh Navis dan memasuk-kannya ke dalam
karyanya, sehingga kadang-kadang pembaca pun merasa berada dalam karya
tersebut bila kebetulan gambaran itu cocok dengan pembaca.
2. Pengarang dan Pembaca
Karya
sastra akan selalu menarik perhatian karena mengungkap-kan penghayatan
manusia yang paling dalam, dalam perjalanan hidup-nya di segala zaman di
segala tempat di dunia ini. Melalui sastra sebagai hasil kesenian kita
memasuki pengalaman bangsa dan bangsa-bangsa dalam sejarah dan
masyarakatnya, menyelami apa yang pernah dipikirkan dan dirasakan.
Dengan demikian menambah kearifan dan kebijaksanaan dalam kehidupan
(Jassin, 1983: 4).
Novel
sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam
memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk menyi-kapi hidup dalam
kehidupan manusia. Dengan demikian novel sebagai bentuk sastra fiksi
dapat memberikan alternatif menyikapi hidup secara artistik imajinatif.
Hal ini dimungkinkan karena di dalam novel persoalan dibicarakan adalah
persoalan tentang manusia dan kemanusiaan. Melalui tokoh-tokoh yang
dipilih dan ditentukan pengarang dalam menyampaikan cerita, pengarang
menyampaikan tema yang diinginkan dan amanat yang ingin dikemukakan.
Membaca novel Kemarau
kita dihadapkan kembali dimasa zaman awal kemerdekaan. Pengarang
mengajak kita melihat langsung tentang hidup dan kehidupan manusia saat
itu. Pengarang dengan meyakinkan bahwa peristiwa itu telah benar-benar
adanya, sehingga pembaca merasa yakin akan kejadian yang ada pada cerita
dalam novel tersebut. Tokoh-tokoh dihidupkan sedemikian rupa dengan
gaya bahasa dan setting yang cocok dimainkan tokoh. Pengalaman hidup
pengarang yang dimasukkan dalam cerita membuat tokoh cerita dapat
mengatasi permasalahan yang ada pada cerita. Peristiwa yang terjadi
dalam cerita dengan permasalahannya telah berhasil diungkapkan pengarang
dengan menemui jalan keluarnya. Pengetahuan pengarang akan permasalahan
diuraikan pengarang melalui tokoh yang menye-babkan cerita hidup dan
membuat pembaca menjadi betah.
Cerita
yang mengkritik tentang kehidupan masyarakat di awal kemerdekaan dengan
sindiran-sindiran melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan menyebabkan
pembaca terpaku. Misalnya untuk menyata-kan orang-orang malas saja
berhasil dilukiskan pengerang seperti yang telah dikutip awal tulisan
ini. Begitu juga, dengan keyakinan masyara-kat yang masih plin-plan.
Suasana saat revolusi dilukiskan sebagai berikut.
Tapi
pada suatu hari, ketika serdadu Belanda lagi mencoba kekuatan tenaga
revolusi rakyat Indonesia dengan menduduki seluruh kota, banyaklah
pimpinan mengungsi ke desa. Tidak pula kurang banyaknya yang mengungsi
ke kampung tempat Sutan Duano tinggal (Navis, 192: 4).
Kemudian bagaimana saat revolusi selesai dilukiskan sebagai berikut.
Penduduk
kampung itu adalah bangsa yang suka merantau. Tanahnya sempit karena
terletak antara bukit dan danau yang vulkanis. Bidang-bidang tanah yang
melandai telah dijadikan sawah atau ladang-ladang kelapa atau perumahan
... Maka itu, setelah serdadu Belanda betul-betul sudah angkat kaki dari
Indonesia, lebih dari separuh laki-laki di situ kembali ke rantau.
Laki-laki yang tinggal hanya orang-orang tua dan anak-anak, dan
segelintir orang muda yang tak punya keberanian berjuang di kota. Dan
mereka yang tinggal itu dihinggapi semacam mabok. Mabok seperti orang
yang telah berpuasa sebulan, lalu mem-punyai kebebasan melahapi penganan
di hari raya. Ketika isi kemerdekaan itu ditumpahkan ke kampung itu,
kehidupan lama telah lalu. Semua anak-anak harus bersekolah tapi
guru-guru kurang, lalu didirikan kursus guru. Semua rakyat harus melek
huruf, lalu didirikan kursus PBH (Navis, 1992: 4).
Hanya ada seorang tokoh bisa menghadapi suasana waktu karena ia bekerja keras. Tokoh tersebut adalah Sutan Duano.
Di
waktu itulah Sutan Duano memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang
sawah yang terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjakannya.
Sapi-sapi yang tak tergembalakan lagi, ditampungnya dengan perjanjian
seperdua. Seekor beruk dibelinya, dan diambilnya upah menurunkan kelapa
sebanyak tiga buah setiap sepuluh yang diturunkan. Malam-malam ketika
orang lagi asyik omong-omong di lepau atau mengikuti kursus, ia
membanamkan dirinya mengikis lumut kulit manis sampai tengah malam. Di
samping itu ia telah mulai sembahyang dan mempelajari agama melalui
buku-buku. Dan ketika orang-orang sudah bosan pada kursus-kursus, baik
karena uraian guru-guru tak menarik hati, harga-harga sudah mulai
meningkat, uang pun sudah bertambah sulit memperolehnya. Tapi Sutan
Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di
kampung itu. Ia sudah punya sepasang bendi, punya seekor sapi untuk
membajak (Navis, 1992: 5).
Pengarang
juga melukiskan, bagaimana ambisinya masyarakat untuk mengadu-nasib di
kota, di mana kota dianggap sesuatu yang memberikan harapan hidup besar
di banding di desa. “Sudah yakin benar Sutan akan berhasil baik jika ke
kota?” Tanyanya Sutan Duano setelah lama berpikir-pikir. “Keadaan nasib
siapa tahu.” “Jangan bermain judi dengan nasib.”
“Aku
tidak bermain judi. Kalau di sini sangat sempit hidupku, mungkin di
tempat lain Tuhan membukakan pintu rezeki selapang-lapangnya buatku.”
“Di mana Sutan tahu rezeki lebih lapang di kota dari di sini?” Sutan Caniago terdiam dan kepalanya tertekur.
“Kalau Sutan jual padi itu, apa yang dimakan anak bini Sutan kelak?”
“Sebelum
turun ke sawah dulu, kami sudah sepakat untuk menjual padi itu setelah
disiangi. Hanya itu satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib.”
“Di kampung ini pun setiap orang dapat memperbaiki nasibnya kalau giat.” (Navis, 1992: 7)
...
“Apa yang menarik Sutan pergi merantau itu?” tanya Sutan Duano selanjutnya.
“Si Maraiman.”
“Si Maraiman?”
“Kami
sama-sama bertani dulunya. Tapi kemudian ia pergi merantau ke kota.
Enam bulan ia baru di rantau, ia telah sanggup membelikan anak istrinya
pakaian yang layak ketika ia pulang. Tapi aku, apa yang telah dapat
kuberikan buat istriku, selain anak bertambah setiap tahun?”
“Aku dengar si Maraiman itu, selama ini di rantau tak pernah mengirimkan nafkah buat keluarganya.”
Sutan Caniago terdiam.
“Itu
kan tak bisa dibanggakan. Sutan di sini selalu meng-hiraukan keluarga
Sutan. Meski kain bajunya tak terbelikan, tapi nafkahnya Sutan urus. Itu
kan sama saja apa yang diberikan si Maraiman kepada istrinya.”
...
“Aku lama hidup di kota,” kata Sutan Duano melanjutkan.
“Kota
tidak bisa menenteramkan hati. Itulah sebabnya aku ke kampung. Di sini
aku tenteram dan bahagia. Mengapa pula Sutan yang sudah tinggal di
kampung yang tenteram ini, lalu hendak ke kota yang riuh itu? Kota
memang banyak pula kemewahan. Tapi bukan kemewahannya adalah sarang
kelaknat-an. Pergi ke kota berarti kita memasukkan diri kita ke kancah
yang laknat... (Navis, 1992: 9).
Walau
dengan usaha demikian Sutan Duano belum juga berhasil merobah nasib
orang-orang kampung tersebut. Malahan dia telah membantu ekonomi
masyarakat dengan menghapuskan sistem ijon dan memberikan pinjaman tanpa
bunga.
Akhirnya
pada suratnya yang keempat, dikatakannya bahwa ia merasa sangat terharu
karena Sutan Duano telah mengembalikan hasil padinya yang dijual dengan
hanya memotong seharga uang yang diberikan dulu.
...
Berita
Sutan Duano yang telah mengembalikan padi pada istri Sutan Caniago itu
sangat menggemparkan seluruh isi kampung itu, seperti berita Belanda
mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dan itulah mulanya Sutan Duano
menjadi orang yang berarti di kampung itu (Navis, 1992: 12)
Pada kesempatan lain terjadi pada Haji Syamsiah yang berkekurangan untuk biaya naik hajinya.
Ketika
Haji Samsiah mau ke Mekkah, ia kekurangan uang. Digadaikannya pohon
kelapanya limabelas batang kepada Sutan Duano. Orang lain hanya mau
memagangnya lima rupiah. Tapi Sutan Duano mau saja memagangnya seberapa
diminta Haji Syamsiah ketika itu. Setelah setahun, pohon kelapa itu
dipulang-kan kembali. Mulanya disangka Haji Syamsiah harus
mengem-balikan uang Sutan Duano. Maka tak menerimanya. Tapi tidak
demikian halnya. Menurut Sutan Duano, selama kepala itu dipagangnya, ia
telah memperoleh hasil lebih dari seratus lima puluh rupiah. Karena itu
ia telah berlaba. Tapi yang pokok katanya, cara pagang gadai yang
diadatkan oleh kampung kita ini, haram hukumnya (Navis, 1992: 28).
Pengarang
juga menghilangkan anggapan masyarakat terhadap orang tua yang tidur di
surau “adalah untuk menghabiskan sisa umur-nya sambil berbuat ibadah
melulu, sembahyang, zikir, dan membaca Quran sampai mata jadi rabun.
Memang itulah gunanya surau dibuat orang selama ini. “Namun, ternyata
pengarang, lewat tokohnya Sutan Duano, berbuat lain. Ia menghabiskan
waktunya dengan kerja keras.”
Kehidupan
masyarakat terutama perempuan di kampung itu yang suka mengaji bukan
lantaran ingin memperdalam pengetahuan agama, tetapi sekedar karena
tertarik kepada si Guru. Hal itu jelas menunjuk-kan ketidakmatangan
emosi, yang antara lain digambarkannya dalam perkelahian antara Gudam
dan Saniah yang ternyata menaruh hati kepada Sutan Duano.
“Mestinya
juga kukatakan rupanya pada Guru? Apa Guru kira, aku datang ke surau
Guru karena aku ingin mempelajari agama? Guru lira, perempuan lain
datang karena pelajaran Guru yang menarik hati? Aku, si Gudam, perempuan
janda yang lain, perempuan-perempuan yang tua itu, sama saja. Kami
datang hanya untuk memperintang waktu. Guru lihat, mana perempuan yang
bersuami yang serajin kami mengikuti pelajaran di surau Guru (Navis,
1992: 89).
Bila
pada bagian sebelumnya telah kita lihat bagaimana kritik tentang
kemalasan masyarakat, maka dibagian lain sebagai jawaban dari hal
tersebut dilukiskan pengarang bagaimana kerja keras itu yang baik lewat
tokoh Sutan Duano ketika menghadapi kemarau di kampung itu.
Pada
bagian lain pengarang berusaha mengkritik tentang penda-laman ilmu
agama masyarakat yang kurang dalam. Sutan Duano berusaha untuk merubah
hal-hal yang kurang baik itu terhadap pengalaman agama yang salah dan
kebiasaan pria.
“Memang
aneh. Pikirannyapun banyak pula yang aneh. Dulu zakat diberikan orang
kepada setiap orang yang mau meminta. Tapi sekarang berkat ajarannya,
zakat diberikan kepada yang betul-betul tidak mampu. Hingga zakat itu ia
dapat memodali hidupnya agar lebih baik.”
“Diantaranya akulah yang telah merasakan nikmatnya,” kata yang berkarib dengan Mangkuto pula (Navis, 1992: 27).
Dan Sutan Duano menghentikan pekerjaannya. Ia berdiri dan menghadap pada perempuan itu.
“Engkau sudah tahu sejak dulu, aku tidak suka pada pesta-pesta yang berketentuan itu.”
“Aku tidak mengadakan pesta, aku membayar nazar karena Acin telah sembuh,” kata Gudam pula.
“Siapa-siapa yang kau undang makan ke rumah? Tentu Wali Negari juga ? Datuk Bebangso juga, bukan?
“Ya.”
“Itulah
yang aku tidak setuju. Kau boleh membayar nazar mu mengundang orang
makan enak-enak ke rumahmu. Tapi bukan mengundang orang kenyang, bukan
mengundang orang-orang yang biasa makan enak. Itu ria namanya. Dilarang
oleh agama. Yang dianjurkan hanyalah megundang anak-anak yatim atau
orang-orang miskin yang kelaparan (Navis, 1992: 94).
Bagian akhir dari
novel ini adalah kritikan terhadap orang-orang suka kawin cerai sehingga
tidak tahu lagi bahwa anak sesama anak tidak saling mengenal dan
akhirnya kawin.sindiran ini diberikan kepada masyarakat yang pada waktu
itu menjadi kebanggaan bila beristri lebih dari satu.
Kau
lihat nanti, betapa bahagianya mereka. Mereka sudah punya dua orang
anak yang manis-manis. Malah hampir tiga. Kalau mereka kau beritahukan,
bahwa mereka bersaudara kandung, mereka mesti bercerai sebagai suami
istri. Kalau mereka mengerti, kalau mereka beriman dan tawakal seperti
kau katakan tadi, tidaklah sulit bagi masanya yang akan datang. Tapi
kalau tidak, hancurlah hari kemudiannya. Ambruklah kehidupan-nya yang
dulu tersebab kau. Kalau mereka bercerai, anak mereka hendak jadi apa?
Tiga orang anak yang tak tahu menahu, cobalah kau pikir ... (Navis,
1992: 113).
Bila pengarang pada cerpen Datangnya dan Perginya mengambil keputusan terhadap persoalan ini dengan membiarkan perkawinan anaknya itu demi rasa kemanusiaan, maka pada novel Kemarau
persoalan ini diselesaikan dengan berpedoman kepada ajaran Islam.
Pekerjaan itu adalah dosa, maka Masri dan Arni bercerai dengan keinsafan
dan kesadaran sebagai umat Tuhan yang tawakal dan beriman.
Banyak
lagi sindiran-sindiran tentang kehidupan masyarakat yang diungkapkan
pengarang, seperti tingkah laku para janda di kampung yang mau berkelahi
untuk memperebutkan pria yang diidamkannya. Mempergunakan guna-guna
untuk mencelakakan sese-orang seperti yang dilakukan Saniah terhadap
Gudam, namun cepat diketahui Sutan Duano. Kebobrokan kehidupan
masyarakat inilah yang diungkapkan pengarang melalui novel Kemarau ini. Melalui renungan implied author mau pun narrator-nya
dituangkan semua sindiran-sindiran itu. Pengarang mengungkapkan semua
kejadian ber-dasarkan situasi saat itu. Kita bisa melihat bagaimana
kehidupan munafiknya seorang tokoh pejuang. Ketika mereka diserang,
semua lari ke desa dan berdiam untuk sementara. Kemudian manakala
keadaan aman mereka keluar dan telah dianggap atau mengaku sebagai
pahlawan. Dari hal-hal yang tersebut di atas mugkin dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa pengarang sebenarnya ingin mengungkapkan tentang
keyakinan atas kodrat Tuhan yang menentukan hidup manusia. Meskipun
seorang telah tobat, namun Tuhan akan tetap menguji dan menuntut
amal-saleh yang lebih tinggi, yang pada akhirnya juga akan sampai pada
suatu pilihan antara kemanusiaan dan keyakinan ber-agama.
Suatu
hal lagi yang belum terungkapkan oleh pengarang adalah tentang masa
lampau Sutan Duano, meskipun hal itu sebenarnya bisa dikembangkan. Entah
berapa kali ia kawin cerai sehingga keluarganya berantakan, hidupnya
tidak karuan, dan tentunya kerja kerasnya di kampung itu bisa saja
ditafsirkan sebagai usaha untuk melarikan diri dari masa lampau yang
kelam itu. Ini bisa merupakan landasan bagi keadaan dan perkembangan
kejiwaannya, tetapi karena tidak digarap secara khusus, tokoh-tokoh itu
seolah-olah tidak memiliki masa lampau yang jelas. Hanya di akhir novel
digambarkan betapa jauh jarak termasuk dari segi martabat antara masa
lampau dan kehidupan-nya di kampung itu. Lelaki setengah baya yang di
kampungnya mendapat penghargaan dari warga lantaran kerja keras,
kekayaan dan sikap tolong-menolong, ternyata sama sekali tidak ada
harganya di mata bekas istrinya yang tentunya melambangkan masa lampau.
Bertolak dari judul novel ini Kemarau
yang memang mengisah-kan bagaimana suatu musim kering yang panjang
melanda suatu kampung. Namun penduduknya tidak mau berusaha, padahal di
kampung sendiri Tuhan telah menyediakan air danau. Untuk mengatasi semua
itu muncullah tokoh Sutan Duano. Dengan bekerja keras maka semua
kesulitan tersebut di atasi dengan baik, hanya saja penduduk tidak mau
mengikuti jejak langkahnya, meskipun Sutan Duano di-anggap tokoh
masyarakat yang disegani, sehingga hanya Sutan Duano sendiri yang bisa
berhasil. Makna lain yang tersirat dari judul ini, di samping musim,
juga kehidupan masyarakat itu sendiri. Terutama tentang pemahaman
keagamaan. Sehingga masyarakat atau penduduk itu juga gersang akan
kehidupan rohaniahnya. Mereka belajar agama hanya karena ikut-ikutan
saja. Kemarau itu juga terjadi pada diri kaum wanita yang lebih banyak
janda. Janda-janda itu sudah kering batinnya karena kekurangan nafkah
batin dari para kaum pria yang lebih banyak merantau atau berada di luar
kampung tersebut. Kemarau yang lain adalah tentang pendidikan anak-anak
karena guru-guru kurang maka yang bisa diadakan hanyalah kursus-kursus
singkat saja. Dan akibat dari kemarau itu maka timbullah kemunafikan,
kurang percaya diri, bisa diadu-domba atau di depan seseorang berlaku
baik tetapi di belakang orang tersebut berlaku jelek.
Hal-hal di atas itu terungkap dari pengakuan masyarakat ketika Sutan Duano dikabarkan hendak meninggalkan kampung itu.
Kemudian
diceritakanlah oleh Rajo Mantari betapa kecang-gungan penduduk di situ
seandainya Sutan Duano jadi pergi. Dimintanya maaf seluruh isi kampung
itu yang seperti telah memalingkan dirinya dari Sutan Duano semenjak
musim kemarau melanda kampung itu. Kini, katanya mereka sudah insaf,
bahwa Sutan Duano lah yang benar. Mulai saat itu, mereka berjanji
mematuhi anjuran Sutan Duano, asal saja ia tidak jadi pergi.
Diceritakannya juga, betapa kekurangan kampung selama ini terhadap
sehari-hari, koperasi simpan pinjam, gotong-royong bertani, soal zakat
fitrah, bahkan sampai soal ijon yang telah dapat dilenyapkan. Disebutnya
segala jasa Sutan Duano selama ini, baik dalam merukunkan rumah tangga,
menyelesaikan seng-keta orang sekeluarga. Juga dalam soal tuntutan
beragama secara betul (Navis, 1992: 75).
Seperti telah
disebutkan di atas bahwa karya ini adalah merupa-kan sindirian terhadap
masyarakat pada masa permulaan kemerdekaan dalam suatu kampung (mungkin
saja kampung pengarang) dengan serba kekurangannya. Dan kekurangan itu
disimbolkan lewat judulnya Kemarau yang berarti telah terjadi musim kering yang panjang di kampung itu.
Apa yang kita rasakan setelah membaca novel Kemarau ini, ialah impleid reader-nya
adalah orang-orang Minangkabau yang lebih suka beristri banyak, malas
bekerja, merantau hanya untuk ikut-ikutan saja atau kalau berhasil di
rantau mereka lupa akan pulang untuk mem-bangun kampung dan pemahaman
akan agama. Agama yang diterima tidak dikaji secara mendalam sehingga
terjadi salah tafsir dari maksdu-maksud agama tersebut khususnya Islam.
Pengarang melalui tokoh-tokoh ceritanya mengungkapkan hal-hal tersebut
dan sekaligus ber-usaha merombaknya demi kebaikan kampung halamannya.
Menurut pengakuan pengarang dalam Pamusuk Eneste (1982: 68) bahwa tokoh
Sutan Duano ditampilkan sebagai tokoh ideal tipe Islam karena di
Sumatera Barat banyak ulama Islam terkemuka berasal dari orang-orang
taubat atau sadar setelah mudanya menjadi bergajul atau bajingan.
Orang-orang yang bertaubat umumnya lebih kongrit amal salehnya daripada
orang-orang beramal karena tradisinya meng-hendaki begitu. Kemudian,
bagi penduduk Minangkabau Islam bukan saja sebagai agama, tetapi juga
telah menjadi kultur. Memajukan bangsa Indonesia dengan memakai
kulturnya akan lebih mudah dari pada dengan memasukkan ajaran lainnya.
Karena kepemimpinan Islam (ulama) lebih dipercaya rakyat daripada
pimpinan lainnya. Di samping itu sesuai dengan kebiasaan orang Sumatera
Barat lebih suka menyin-dir daripada memberikan langsung terhadap
sesuatu yang mau diajarkan.
3. Penutup
Karya
sastra yang baik adalah karya yang bisa menggambarkan situasi zamannya
dan melalui karya itu pengarang berusaha meng-ungkapkan ide atau
gagasannya dengan mencarikan jalan keluar dari permasalahan yang ditemui
pada saat itu. Hal ini telah dilakukan oleh Navis. Suatu keadaan zaman
pada masa setelah kemerdekaan dilukis-kan dengan berbagai permasalahan
hidup dan kehidupan manusia telah digambarkan secara baik kembali,
dihadirkan dengan bahasa yang lancar dan perenungan yang mendalam.
Kemudian dengan penga-laman hidup pengarang dibentuklah jalan keluar
dari permasalahan yang ditemui pada zaman tersebut. Meskipun gaya Navis
yang penuh dengan sindiran tidak semua orang akan dapat mematuhinya
tetapi bagi orang Minangkabau yang sejati cara demikianlah yang cocok
untuk memberikan pelajaran kepada seseorang. Orang Minangkabau lebih
merasa terhina bila disindir daripada dipukul di depan orang ramai.
Agaknya implied reader dari novel ini, tentang orang-orang Minangkabau khususnya dan Sumatera Barat umumnya.
Bila
dilihat dari keseluruhan karya Navis, kata, kalimat, dan wacana dari
setiap karangannya adalah berupa sindiran. Inilah ciri khas dari Navis.
Sindiran-sindiran yang ditampilkan Navis telah merupakan model
tersendiri atau wacana Navis adalah demikian.
Pembaca
dalam hal ini adalah pembaca arif akan situasi dan suasana. Dengan gaya
bahasa khas ironi, Navis berhasil menggiring pembaca pada persoalan dan
mengantarkan pembaca pada suatu jawaban, meskipun kemudian pembaca juga
mempunyai jawaban yang lain lagi. Akhirnya pengarang yang baik adalah
pengarang yang berhasil mengungkapkan pikirannya lewat karya dan
berhasil di-tangkap pembaca dengan baik. Dan pembaca yang baik tentulah
pembaca yang dapat mengambil amanat dan maksud dan ide pengarang,
sehingga dimana saja dan kapan saja ide tersebut dapat berkembang sesuai
dengan situasinya.
Daftar Pustaka
Abdullah, Imran T. 1984. “Resepsi Sastra Teori dan Penerapannya” dalam majalah Humaniora No. 1 tahun 1984 hal. 71.
---------------------
1993. “Burung-Burung Rantau: Pengarang, Teks, Pembaca dalam Rangkaian
Pemaknaan”. Makalah Diskusi Buku Sastra dan Temu Pengarang PBSI FKIP dan
Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Damono, Sapardi Djoko, 1992. “Kata Pengantar” dalam Novel Kemarau. Jakarta; Grasindo
Eneste, Pamusuk, 1993. Proses Kreatif. Jakarta Gramedia.
Jassin, H. B. 1984. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta; Gramedia.
Martin, Wellace. 1980. Recent Theories of Narrative. New York; Cornell University Press.
Navis. A. A. 1966. Robohnya Surau Kami. Bukittinggi; Nusantara.
-------------- 1992. Kemarau. Jakarta; Grasindo.
Langganan:
Postingan (Atom)