Kemarau: Pengarang dan Pembaca Suatu Komunikasi
Drs. Hermawan, M. Hum.
1. Pendahuluan
Ali
Akbar Navis, atau lebih dikenal dengan A. A. Navis, pertana sekali nama
melejit dalam cakrawala sastra Indonesia modern ketika cerpen Robohnya Surau Kami dimuat di majalah Kisah dan sekaligus dinyatakan oleh majalah Kisah
sebagai cerpen terbaik tahun itu. Cerpen yang berbicara tentang tingkah
laku seorang penjaga surau dan beribadat kepada Allah. Kakek Garin, si
penjaga surau itu, mendapat simpati dari masyarakat sekitarnya;
setidaknya, orang-orang di sekitarnya tidak pernah mempersoalkan cara
beribadat itu, sampai pada suatu kali muncul Ajo Sidi yang tiba-tiba
menghancurkan landasan bangunan kepercayaan kakek itu. Lelaki yang
disebut tukang bual itu mendongeng kepada Kakek Garin mengenai Haji
Saleh yang menerima murka dari Allah dan masuk neraka bersama-sama
dengan haji-haji yang lain meskipun merasa selama hidupnya senantiasa
mengagungkan nama Allah swt. Mendengar dongeng semacam itu, Kakek Garin
yang berpikiran sederhana itu merasa tersindir. Ia putus asa sebab
segala yang dilakukannya di dunia selama ini ternyata keliru; itulah
sebabnya akhirnya ia bunuh diri.
Cerpen-cerpen yang dibuatnya setelah cerpen Robohnya Surau Kami ada sebanyak 9 buah yang akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan cerpen di bawah judul Robohnya Surau Kami. Satu lagi diantara cerpennya yang menarik adalah cerpen yang berjudul Datangnya dan Perginya.
Cerpen yang mengisahkan tentang seorang yang terlalu banyak kawin,
sehingga anaknya sendiri telah kawin dengan anaknya yang lain. Begitu
cara Navis memberikan sindiran terhadap masyarakat lingkungan yang pada
waktu itu merupakan kebanggaan bila punya istri lebih dari satu. Pada
cerpennya yang lain menyindir tentang jodoh seseorang yang selalu
ditentukan oleh kaum keluarga. Melalui cerpen Jodoh, Navis
telah memenangkan sayembara Kincir Emas yang diselenggarakan Radio
Nederland Weredomroep tahun 1975. Cerpen yang bercerita secara flash back ini
mengisahkan tentang seseorang yang mendapat jodoh dari iklan surat
kabar, padahal jodoh itu seharusnya ditentukan oleh kaum keluarga atau mamak (paman) sebagai kebiasaan (adat) daerah tokoh itu bermukim.
Jika dijajarkan semua karya Navis terutama dengan karyanya yang tersebut di atas dengan novel Kemarau
ini terlihat ada suatu maksud pengarang yaitu ingin merombak sistem
hidup atau pandangan hidup masyarakatnya terhadap hal-hal yang menjadi
keyakinannya. Masyarakat sekitar pengarang saat itu selalu suka
ikut-ikutan, tidak yakin dengan keyakinan yang dianutnya. Apalagi zaman
saat itu masih dalam keadaan revolusi. Hal lain adalah kemalasan yang
terjadi pada masyarakat. Tidak mau bekerja keras. Masyarakat maunya
menerima apa adanya, atau mencari hal-hal yang mudah dikerjakan dengan
untung yang lebih baik atau lebih besar. Kakek (Garin) yang selalu
beribadat kepada Allah swt tanpa berusaha bekerja untuk menghidupi
keluarganya. Ia hanya menerima upah sebagai Garin (penjaga surau) dari
orang yang sembahyang di Surau itu, atau mendapat sumbangan dari hasil
kolam di depan surau itu bila dipanen dan menerima upah bila ada orang
yang mau mengasah pisau atau gunting, meskipun kadang-kadang upah
tersebut tidak terlalu diharapkannya. Begitu juga masyarakat yang ada
dalam novel Kemarau yang dilanda kekeringan, mereka tidak mau
berusaha, malah mereka lebih senang ke dukun untuk mengubah keadaan,
atau berserah diri kepada Tuhan, dan manakala kedua usaha tersebut
terbentur maka mereka senang main domino. Gambaran atau karikatur yang
merupakan sindiran ini selalu dimunculkan oleh Navis.
Tokoh aku dalam cerpen Datangnya dan Perginya
juga di-gambarkan sebagai seorang tokoh yang melalaikan tanggung jawab
terhadap keluarga sehingga tokoh tersebut tidak tahu bahwa anaknya dari
istri yang satu telah kawin dengan anaknya dari istri yang lain.
Meskipun akhirnya dapat diceraikan namun telah menimbulkan akibat yang
fatal karena sudah mempunyai keturunan. Harapan dari tokoh aku yang
sudah bertaubat juga tidak tercapai karena telah melalaikan tugasnya,
yaitu membiarkan anak sama anak kawin. Sindiran-sindiran terhadap
masyarakat yang malas dan tidak mau bekerja keras. Sindiran terhadap
para mamak (paman) kaum yang selalu menentukan jodoh anak kemenakannya (dalam cerpen Jodoh).
Sindiran terdahap sese-orang yang lebih mementingkan beramal daripada
memberi nafkah kepada keluarga sebab beramal dengan selalu beribadat
kepada Tuhan akan mendapat hidup yang baik di akhirat dalam cerpen Robohnya Surau Kami.
Tokoh Sutan Duano dalam novel Kemarau,
dilukiskan pengarang sebagai tokoh yang ulet dan suka bekerja keras. Ia
juga seorang yang taat menjalankan perintah Tuhan sehingga masyarakat
mengaguminya sebagai tokoh yang pantas ditiru. Ia juga ingin merombak
sistem hidup masyarakat lingkungannya yang suka malas-malasan. Ketika
terjadi kemarau panjang, ia mencari air dengan mengangkut dari danau.
Air dibawa dengan kaleng bekas minyak tanah dari danau. Ia ambil untuk
menyirami sawahnya. Pekerjaan ini dikatakan pekerjaan orang gila. Beda
dengan tokoh Kakek Garin. Sutan Duano di samping bekerja keras, ia juga
diangkat sebagai penjaga surau yang sekaligus guru mengaji. Semua hasil
pencahariannya diberikan kepada masyarakat. Sementara masyarakat mulai
tertarik dengan sifat sosial Sutan Duano, apalagi ketika Sutan Caniago
berhasil dipinjami uang untuk merantau hidup di kota, tanpa meminta
bunga hasil pinjaman. Meskipun, dengan menggadaikan hasil panen padinya,
Sutan Caniago merasa tidak menggadaikan hasil panen tersebut. Sutan
Caniago hanya dipinjami uang secara cuma-cuma. Begitu juga dengan Haji
Syamsiah yang kekurangan uang untuk naik haji, dipinjami uang oleh Sutan
Duano tanpa meminta bunga. Walau Haji Syamsiah dan hutang Haji Syamsiah
tidak perlu dibayar, sebab dari hasil pohon kelapa selama tergadai
kepada Sutan Duano telah menghasilkan uang yang bahkan lebih dari hutang
Haji Syamsiah semula.
Kepekaan
pengarang terhadap lingkungannya dan wawasan tentang agam dan kebiasaan
masyarakat menjadikan masalah-masalah yang menarik untuk diangkat ke
dalam suatu karya sastra. Hal ini tercermin dari karya-karyanya yang
selalu merupakan sindirian yang tajam kejadian masyarakat sekelilingnya,
sehingga membuat karyanya nikmat untuk dinikmati. Apalagi gaya khas
sindiran yang dimiliki pengarang dan ditambah dengan bahasanya yang
mudah dipahami oleh masyarakat pembaca seperti kutipan berikut ini.
Musim
kemarau di masa itu sangatlah panjangnya. Hingga sawah-sawah jadi
rusak. Tanahnya rengkah sebesar lengan. Rumpun padi jadi kerdil dan
menguning sebelum padinya jadi terbit. Semua petani mengeluh dan putus
asa. Orang-orang mengomel perintah yang menyuruh mereka agar dua kali
turun ke sawah di tahun itu. Setengah bulan setelah benih ditanam,
bendar-bendar tak mengalir air lagi karena hujan sudah lama tidak turun.
Setiap pagi dan setiap sore para petani selalu memandang langit, ingin
tahu apakah hujan akan turun atau tidak. Tetapi langit selalu cerah di
siang, dan alangkah gemerlapnya di malam hari dengan bintang-bintang.
Dan setelah tanah sawah mulai merengkah, mulailah mereka berpikir. Ada
beberapa orang pergi ke dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan
menurunkan hujan. Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah
setumpukan sabut kelapa dipanggangnya beserta sekepal kemenyan. Hanya
asap tebal yang mengepul di sekitar rumah dukun itu terbang ke awang
bersama manteranya. Dan setelah tak juga keramat dukun itu memberi
hasil, barulah mereka ingat pada Tuhan. Mereka pergilah setiap malam ke
mesjid mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta
hujan. Tapi hujang tak kunjung juga turun. Ketika rengkahan sawah
sebesar betis, rumput-rumput dan belukar sudah menguning, sampailah
putus asa ke puncaknya. Lalu mereka lemparkan pikirannya dari sawah,
hujan setetespun tak mereka harapkan lagi. Sebab meskipun hujan akan
turun juga saat itu, tidaklah ada gunanya bagi sawah mereka. Dan untuk
membunuh putus asa, mereka lebih suka main domino atau main kartu di
lepau-lepau (Navis, 1992: 1).
Gaya bahasa sindiran ini mengingatkan kita akan Robohnya Surau Kami yang punya gaya bahasa sindiran sebagai berikut.
“Kalau
ada, kenapa kau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya
semua. Sedangkan harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk
anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri,
saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi
kau malas. Kau lebih suka ber-ibadat saja, karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.
Sedangkan
aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana
engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka
pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan
menyembahKu saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat
halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di kerak neraka”
(Navis,1966: 19).
Kesegaran
gaya bahasa sindiran inilah yang membuat pembaca karya Navis lebih enak
untuk menyelesaikannya. Gambaran-gambaran yang hidup di tengah
masyarakat berhasil ditangkap oleh Navis dan memasuk-kannya ke dalam
karyanya, sehingga kadang-kadang pembaca pun merasa berada dalam karya
tersebut bila kebetulan gambaran itu cocok dengan pembaca.
2. Pengarang dan Pembaca
Karya
sastra akan selalu menarik perhatian karena mengungkap-kan penghayatan
manusia yang paling dalam, dalam perjalanan hidup-nya di segala zaman di
segala tempat di dunia ini. Melalui sastra sebagai hasil kesenian kita
memasuki pengalaman bangsa dan bangsa-bangsa dalam sejarah dan
masyarakatnya, menyelami apa yang pernah dipikirkan dan dirasakan.
Dengan demikian menambah kearifan dan kebijaksanaan dalam kehidupan
(Jassin, 1983: 4).
Novel
sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam
memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk menyi-kapi hidup dalam
kehidupan manusia. Dengan demikian novel sebagai bentuk sastra fiksi
dapat memberikan alternatif menyikapi hidup secara artistik imajinatif.
Hal ini dimungkinkan karena di dalam novel persoalan dibicarakan adalah
persoalan tentang manusia dan kemanusiaan. Melalui tokoh-tokoh yang
dipilih dan ditentukan pengarang dalam menyampaikan cerita, pengarang
menyampaikan tema yang diinginkan dan amanat yang ingin dikemukakan.
Membaca novel Kemarau
kita dihadapkan kembali dimasa zaman awal kemerdekaan. Pengarang
mengajak kita melihat langsung tentang hidup dan kehidupan manusia saat
itu. Pengarang dengan meyakinkan bahwa peristiwa itu telah benar-benar
adanya, sehingga pembaca merasa yakin akan kejadian yang ada pada cerita
dalam novel tersebut. Tokoh-tokoh dihidupkan sedemikian rupa dengan
gaya bahasa dan setting yang cocok dimainkan tokoh. Pengalaman hidup
pengarang yang dimasukkan dalam cerita membuat tokoh cerita dapat
mengatasi permasalahan yang ada pada cerita. Peristiwa yang terjadi
dalam cerita dengan permasalahannya telah berhasil diungkapkan pengarang
dengan menemui jalan keluarnya. Pengetahuan pengarang akan permasalahan
diuraikan pengarang melalui tokoh yang menye-babkan cerita hidup dan
membuat pembaca menjadi betah.
Cerita
yang mengkritik tentang kehidupan masyarakat di awal kemerdekaan dengan
sindiran-sindiran melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan menyebabkan
pembaca terpaku. Misalnya untuk menyata-kan orang-orang malas saja
berhasil dilukiskan pengerang seperti yang telah dikutip awal tulisan
ini. Begitu juga, dengan keyakinan masyara-kat yang masih plin-plan.
Suasana saat revolusi dilukiskan sebagai berikut.
Tapi
pada suatu hari, ketika serdadu Belanda lagi mencoba kekuatan tenaga
revolusi rakyat Indonesia dengan menduduki seluruh kota, banyaklah
pimpinan mengungsi ke desa. Tidak pula kurang banyaknya yang mengungsi
ke kampung tempat Sutan Duano tinggal (Navis, 192: 4).
Kemudian bagaimana saat revolusi selesai dilukiskan sebagai berikut.
Penduduk
kampung itu adalah bangsa yang suka merantau. Tanahnya sempit karena
terletak antara bukit dan danau yang vulkanis. Bidang-bidang tanah yang
melandai telah dijadikan sawah atau ladang-ladang kelapa atau perumahan
... Maka itu, setelah serdadu Belanda betul-betul sudah angkat kaki dari
Indonesia, lebih dari separuh laki-laki di situ kembali ke rantau.
Laki-laki yang tinggal hanya orang-orang tua dan anak-anak, dan
segelintir orang muda yang tak punya keberanian berjuang di kota. Dan
mereka yang tinggal itu dihinggapi semacam mabok. Mabok seperti orang
yang telah berpuasa sebulan, lalu mem-punyai kebebasan melahapi penganan
di hari raya. Ketika isi kemerdekaan itu ditumpahkan ke kampung itu,
kehidupan lama telah lalu. Semua anak-anak harus bersekolah tapi
guru-guru kurang, lalu didirikan kursus guru. Semua rakyat harus melek
huruf, lalu didirikan kursus PBH (Navis, 1992: 4).
Hanya ada seorang tokoh bisa menghadapi suasana waktu karena ia bekerja keras. Tokoh tersebut adalah Sutan Duano.
Di
waktu itulah Sutan Duano memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang
sawah yang terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjakannya.
Sapi-sapi yang tak tergembalakan lagi, ditampungnya dengan perjanjian
seperdua. Seekor beruk dibelinya, dan diambilnya upah menurunkan kelapa
sebanyak tiga buah setiap sepuluh yang diturunkan. Malam-malam ketika
orang lagi asyik omong-omong di lepau atau mengikuti kursus, ia
membanamkan dirinya mengikis lumut kulit manis sampai tengah malam. Di
samping itu ia telah mulai sembahyang dan mempelajari agama melalui
buku-buku. Dan ketika orang-orang sudah bosan pada kursus-kursus, baik
karena uraian guru-guru tak menarik hati, harga-harga sudah mulai
meningkat, uang pun sudah bertambah sulit memperolehnya. Tapi Sutan
Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di
kampung itu. Ia sudah punya sepasang bendi, punya seekor sapi untuk
membajak (Navis, 1992: 5).
Pengarang
juga melukiskan, bagaimana ambisinya masyarakat untuk mengadu-nasib di
kota, di mana kota dianggap sesuatu yang memberikan harapan hidup besar
di banding di desa. “Sudah yakin benar Sutan akan berhasil baik jika ke
kota?” Tanyanya Sutan Duano setelah lama berpikir-pikir. “Keadaan nasib
siapa tahu.” “Jangan bermain judi dengan nasib.”
“Aku
tidak bermain judi. Kalau di sini sangat sempit hidupku, mungkin di
tempat lain Tuhan membukakan pintu rezeki selapang-lapangnya buatku.”
“Di mana Sutan tahu rezeki lebih lapang di kota dari di sini?” Sutan Caniago terdiam dan kepalanya tertekur.
“Kalau Sutan jual padi itu, apa yang dimakan anak bini Sutan kelak?”
“Sebelum
turun ke sawah dulu, kami sudah sepakat untuk menjual padi itu setelah
disiangi. Hanya itu satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib.”
“Di kampung ini pun setiap orang dapat memperbaiki nasibnya kalau giat.” (Navis, 1992: 7)
...
“Apa yang menarik Sutan pergi merantau itu?” tanya Sutan Duano selanjutnya.
“Si Maraiman.”
“Si Maraiman?”
“Kami
sama-sama bertani dulunya. Tapi kemudian ia pergi merantau ke kota.
Enam bulan ia baru di rantau, ia telah sanggup membelikan anak istrinya
pakaian yang layak ketika ia pulang. Tapi aku, apa yang telah dapat
kuberikan buat istriku, selain anak bertambah setiap tahun?”
“Aku dengar si Maraiman itu, selama ini di rantau tak pernah mengirimkan nafkah buat keluarganya.”
Sutan Caniago terdiam.
“Itu
kan tak bisa dibanggakan. Sutan di sini selalu meng-hiraukan keluarga
Sutan. Meski kain bajunya tak terbelikan, tapi nafkahnya Sutan urus. Itu
kan sama saja apa yang diberikan si Maraiman kepada istrinya.”
...
“Aku lama hidup di kota,” kata Sutan Duano melanjutkan.
“Kota
tidak bisa menenteramkan hati. Itulah sebabnya aku ke kampung. Di sini
aku tenteram dan bahagia. Mengapa pula Sutan yang sudah tinggal di
kampung yang tenteram ini, lalu hendak ke kota yang riuh itu? Kota
memang banyak pula kemewahan. Tapi bukan kemewahannya adalah sarang
kelaknat-an. Pergi ke kota berarti kita memasukkan diri kita ke kancah
yang laknat... (Navis, 1992: 9).
Walau
dengan usaha demikian Sutan Duano belum juga berhasil merobah nasib
orang-orang kampung tersebut. Malahan dia telah membantu ekonomi
masyarakat dengan menghapuskan sistem ijon dan memberikan pinjaman tanpa
bunga.
Akhirnya
pada suratnya yang keempat, dikatakannya bahwa ia merasa sangat terharu
karena Sutan Duano telah mengembalikan hasil padinya yang dijual dengan
hanya memotong seharga uang yang diberikan dulu.
...
Berita
Sutan Duano yang telah mengembalikan padi pada istri Sutan Caniago itu
sangat menggemparkan seluruh isi kampung itu, seperti berita Belanda
mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dan itulah mulanya Sutan Duano
menjadi orang yang berarti di kampung itu (Navis, 1992: 12)
Pada kesempatan lain terjadi pada Haji Syamsiah yang berkekurangan untuk biaya naik hajinya.
Ketika
Haji Samsiah mau ke Mekkah, ia kekurangan uang. Digadaikannya pohon
kelapanya limabelas batang kepada Sutan Duano. Orang lain hanya mau
memagangnya lima rupiah. Tapi Sutan Duano mau saja memagangnya seberapa
diminta Haji Syamsiah ketika itu. Setelah setahun, pohon kelapa itu
dipulang-kan kembali. Mulanya disangka Haji Syamsiah harus
mengem-balikan uang Sutan Duano. Maka tak menerimanya. Tapi tidak
demikian halnya. Menurut Sutan Duano, selama kepala itu dipagangnya, ia
telah memperoleh hasil lebih dari seratus lima puluh rupiah. Karena itu
ia telah berlaba. Tapi yang pokok katanya, cara pagang gadai yang
diadatkan oleh kampung kita ini, haram hukumnya (Navis, 1992: 28).
Pengarang
juga menghilangkan anggapan masyarakat terhadap orang tua yang tidur di
surau “adalah untuk menghabiskan sisa umur-nya sambil berbuat ibadah
melulu, sembahyang, zikir, dan membaca Quran sampai mata jadi rabun.
Memang itulah gunanya surau dibuat orang selama ini. “Namun, ternyata
pengarang, lewat tokohnya Sutan Duano, berbuat lain. Ia menghabiskan
waktunya dengan kerja keras.”
Kehidupan
masyarakat terutama perempuan di kampung itu yang suka mengaji bukan
lantaran ingin memperdalam pengetahuan agama, tetapi sekedar karena
tertarik kepada si Guru. Hal itu jelas menunjuk-kan ketidakmatangan
emosi, yang antara lain digambarkannya dalam perkelahian antara Gudam
dan Saniah yang ternyata menaruh hati kepada Sutan Duano.
“Mestinya
juga kukatakan rupanya pada Guru? Apa Guru kira, aku datang ke surau
Guru karena aku ingin mempelajari agama? Guru lira, perempuan lain
datang karena pelajaran Guru yang menarik hati? Aku, si Gudam, perempuan
janda yang lain, perempuan-perempuan yang tua itu, sama saja. Kami
datang hanya untuk memperintang waktu. Guru lihat, mana perempuan yang
bersuami yang serajin kami mengikuti pelajaran di surau Guru (Navis,
1992: 89).
Bila
pada bagian sebelumnya telah kita lihat bagaimana kritik tentang
kemalasan masyarakat, maka dibagian lain sebagai jawaban dari hal
tersebut dilukiskan pengarang bagaimana kerja keras itu yang baik lewat
tokoh Sutan Duano ketika menghadapi kemarau di kampung itu.
Pada
bagian lain pengarang berusaha mengkritik tentang penda-laman ilmu
agama masyarakat yang kurang dalam. Sutan Duano berusaha untuk merubah
hal-hal yang kurang baik itu terhadap pengalaman agama yang salah dan
kebiasaan pria.
“Memang
aneh. Pikirannyapun banyak pula yang aneh. Dulu zakat diberikan orang
kepada setiap orang yang mau meminta. Tapi sekarang berkat ajarannya,
zakat diberikan kepada yang betul-betul tidak mampu. Hingga zakat itu ia
dapat memodali hidupnya agar lebih baik.”
“Diantaranya akulah yang telah merasakan nikmatnya,” kata yang berkarib dengan Mangkuto pula (Navis, 1992: 27).
Dan Sutan Duano menghentikan pekerjaannya. Ia berdiri dan menghadap pada perempuan itu.
“Engkau sudah tahu sejak dulu, aku tidak suka pada pesta-pesta yang berketentuan itu.”
“Aku tidak mengadakan pesta, aku membayar nazar karena Acin telah sembuh,” kata Gudam pula.
“Siapa-siapa yang kau undang makan ke rumah? Tentu Wali Negari juga ? Datuk Bebangso juga, bukan?
“Ya.”
“Itulah
yang aku tidak setuju. Kau boleh membayar nazar mu mengundang orang
makan enak-enak ke rumahmu. Tapi bukan mengundang orang kenyang, bukan
mengundang orang-orang yang biasa makan enak. Itu ria namanya. Dilarang
oleh agama. Yang dianjurkan hanyalah megundang anak-anak yatim atau
orang-orang miskin yang kelaparan (Navis, 1992: 94).
Bagian akhir dari
novel ini adalah kritikan terhadap orang-orang suka kawin cerai sehingga
tidak tahu lagi bahwa anak sesama anak tidak saling mengenal dan
akhirnya kawin.sindiran ini diberikan kepada masyarakat yang pada waktu
itu menjadi kebanggaan bila beristri lebih dari satu.
Kau
lihat nanti, betapa bahagianya mereka. Mereka sudah punya dua orang
anak yang manis-manis. Malah hampir tiga. Kalau mereka kau beritahukan,
bahwa mereka bersaudara kandung, mereka mesti bercerai sebagai suami
istri. Kalau mereka mengerti, kalau mereka beriman dan tawakal seperti
kau katakan tadi, tidaklah sulit bagi masanya yang akan datang. Tapi
kalau tidak, hancurlah hari kemudiannya. Ambruklah kehidupan-nya yang
dulu tersebab kau. Kalau mereka bercerai, anak mereka hendak jadi apa?
Tiga orang anak yang tak tahu menahu, cobalah kau pikir ... (Navis,
1992: 113).
Bila pengarang pada cerpen Datangnya dan Perginya mengambil keputusan terhadap persoalan ini dengan membiarkan perkawinan anaknya itu demi rasa kemanusiaan, maka pada novel Kemarau
persoalan ini diselesaikan dengan berpedoman kepada ajaran Islam.
Pekerjaan itu adalah dosa, maka Masri dan Arni bercerai dengan keinsafan
dan kesadaran sebagai umat Tuhan yang tawakal dan beriman.
Banyak
lagi sindiran-sindiran tentang kehidupan masyarakat yang diungkapkan
pengarang, seperti tingkah laku para janda di kampung yang mau berkelahi
untuk memperebutkan pria yang diidamkannya. Mempergunakan guna-guna
untuk mencelakakan sese-orang seperti yang dilakukan Saniah terhadap
Gudam, namun cepat diketahui Sutan Duano. Kebobrokan kehidupan
masyarakat inilah yang diungkapkan pengarang melalui novel Kemarau ini. Melalui renungan implied author mau pun narrator-nya
dituangkan semua sindiran-sindiran itu. Pengarang mengungkapkan semua
kejadian ber-dasarkan situasi saat itu. Kita bisa melihat bagaimana
kehidupan munafiknya seorang tokoh pejuang. Ketika mereka diserang,
semua lari ke desa dan berdiam untuk sementara. Kemudian manakala
keadaan aman mereka keluar dan telah dianggap atau mengaku sebagai
pahlawan. Dari hal-hal yang tersebut di atas mugkin dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa pengarang sebenarnya ingin mengungkapkan tentang
keyakinan atas kodrat Tuhan yang menentukan hidup manusia. Meskipun
seorang telah tobat, namun Tuhan akan tetap menguji dan menuntut
amal-saleh yang lebih tinggi, yang pada akhirnya juga akan sampai pada
suatu pilihan antara kemanusiaan dan keyakinan ber-agama.
Suatu
hal lagi yang belum terungkapkan oleh pengarang adalah tentang masa
lampau Sutan Duano, meskipun hal itu sebenarnya bisa dikembangkan. Entah
berapa kali ia kawin cerai sehingga keluarganya berantakan, hidupnya
tidak karuan, dan tentunya kerja kerasnya di kampung itu bisa saja
ditafsirkan sebagai usaha untuk melarikan diri dari masa lampau yang
kelam itu. Ini bisa merupakan landasan bagi keadaan dan perkembangan
kejiwaannya, tetapi karena tidak digarap secara khusus, tokoh-tokoh itu
seolah-olah tidak memiliki masa lampau yang jelas. Hanya di akhir novel
digambarkan betapa jauh jarak termasuk dari segi martabat antara masa
lampau dan kehidupan-nya di kampung itu. Lelaki setengah baya yang di
kampungnya mendapat penghargaan dari warga lantaran kerja keras,
kekayaan dan sikap tolong-menolong, ternyata sama sekali tidak ada
harganya di mata bekas istrinya yang tentunya melambangkan masa lampau.
Bertolak dari judul novel ini Kemarau
yang memang mengisah-kan bagaimana suatu musim kering yang panjang
melanda suatu kampung. Namun penduduknya tidak mau berusaha, padahal di
kampung sendiri Tuhan telah menyediakan air danau. Untuk mengatasi semua
itu muncullah tokoh Sutan Duano. Dengan bekerja keras maka semua
kesulitan tersebut di atasi dengan baik, hanya saja penduduk tidak mau
mengikuti jejak langkahnya, meskipun Sutan Duano di-anggap tokoh
masyarakat yang disegani, sehingga hanya Sutan Duano sendiri yang bisa
berhasil. Makna lain yang tersirat dari judul ini, di samping musim,
juga kehidupan masyarakat itu sendiri. Terutama tentang pemahaman
keagamaan. Sehingga masyarakat atau penduduk itu juga gersang akan
kehidupan rohaniahnya. Mereka belajar agama hanya karena ikut-ikutan
saja. Kemarau itu juga terjadi pada diri kaum wanita yang lebih banyak
janda. Janda-janda itu sudah kering batinnya karena kekurangan nafkah
batin dari para kaum pria yang lebih banyak merantau atau berada di luar
kampung tersebut. Kemarau yang lain adalah tentang pendidikan anak-anak
karena guru-guru kurang maka yang bisa diadakan hanyalah kursus-kursus
singkat saja. Dan akibat dari kemarau itu maka timbullah kemunafikan,
kurang percaya diri, bisa diadu-domba atau di depan seseorang berlaku
baik tetapi di belakang orang tersebut berlaku jelek.
Hal-hal di atas itu terungkap dari pengakuan masyarakat ketika Sutan Duano dikabarkan hendak meninggalkan kampung itu.
Kemudian
diceritakanlah oleh Rajo Mantari betapa kecang-gungan penduduk di situ
seandainya Sutan Duano jadi pergi. Dimintanya maaf seluruh isi kampung
itu yang seperti telah memalingkan dirinya dari Sutan Duano semenjak
musim kemarau melanda kampung itu. Kini, katanya mereka sudah insaf,
bahwa Sutan Duano lah yang benar. Mulai saat itu, mereka berjanji
mematuhi anjuran Sutan Duano, asal saja ia tidak jadi pergi.
Diceritakannya juga, betapa kekurangan kampung selama ini terhadap
sehari-hari, koperasi simpan pinjam, gotong-royong bertani, soal zakat
fitrah, bahkan sampai soal ijon yang telah dapat dilenyapkan. Disebutnya
segala jasa Sutan Duano selama ini, baik dalam merukunkan rumah tangga,
menyelesaikan seng-keta orang sekeluarga. Juga dalam soal tuntutan
beragama secara betul (Navis, 1992: 75).
Seperti telah
disebutkan di atas bahwa karya ini adalah merupa-kan sindirian terhadap
masyarakat pada masa permulaan kemerdekaan dalam suatu kampung (mungkin
saja kampung pengarang) dengan serba kekurangannya. Dan kekurangan itu
disimbolkan lewat judulnya Kemarau yang berarti telah terjadi musim kering yang panjang di kampung itu.
Apa yang kita rasakan setelah membaca novel Kemarau ini, ialah impleid reader-nya
adalah orang-orang Minangkabau yang lebih suka beristri banyak, malas
bekerja, merantau hanya untuk ikut-ikutan saja atau kalau berhasil di
rantau mereka lupa akan pulang untuk mem-bangun kampung dan pemahaman
akan agama. Agama yang diterima tidak dikaji secara mendalam sehingga
terjadi salah tafsir dari maksdu-maksud agama tersebut khususnya Islam.
Pengarang melalui tokoh-tokoh ceritanya mengungkapkan hal-hal tersebut
dan sekaligus ber-usaha merombaknya demi kebaikan kampung halamannya.
Menurut pengakuan pengarang dalam Pamusuk Eneste (1982: 68) bahwa tokoh
Sutan Duano ditampilkan sebagai tokoh ideal tipe Islam karena di
Sumatera Barat banyak ulama Islam terkemuka berasal dari orang-orang
taubat atau sadar setelah mudanya menjadi bergajul atau bajingan.
Orang-orang yang bertaubat umumnya lebih kongrit amal salehnya daripada
orang-orang beramal karena tradisinya meng-hendaki begitu. Kemudian,
bagi penduduk Minangkabau Islam bukan saja sebagai agama, tetapi juga
telah menjadi kultur. Memajukan bangsa Indonesia dengan memakai
kulturnya akan lebih mudah dari pada dengan memasukkan ajaran lainnya.
Karena kepemimpinan Islam (ulama) lebih dipercaya rakyat daripada
pimpinan lainnya. Di samping itu sesuai dengan kebiasaan orang Sumatera
Barat lebih suka menyin-dir daripada memberikan langsung terhadap
sesuatu yang mau diajarkan.
3. Penutup
Karya
sastra yang baik adalah karya yang bisa menggambarkan situasi zamannya
dan melalui karya itu pengarang berusaha meng-ungkapkan ide atau
gagasannya dengan mencarikan jalan keluar dari permasalahan yang ditemui
pada saat itu. Hal ini telah dilakukan oleh Navis. Suatu keadaan zaman
pada masa setelah kemerdekaan dilukis-kan dengan berbagai permasalahan
hidup dan kehidupan manusia telah digambarkan secara baik kembali,
dihadirkan dengan bahasa yang lancar dan perenungan yang mendalam.
Kemudian dengan penga-laman hidup pengarang dibentuklah jalan keluar
dari permasalahan yang ditemui pada zaman tersebut. Meskipun gaya Navis
yang penuh dengan sindiran tidak semua orang akan dapat mematuhinya
tetapi bagi orang Minangkabau yang sejati cara demikianlah yang cocok
untuk memberikan pelajaran kepada seseorang. Orang Minangkabau lebih
merasa terhina bila disindir daripada dipukul di depan orang ramai.
Agaknya implied reader dari novel ini, tentang orang-orang Minangkabau khususnya dan Sumatera Barat umumnya.
Bila
dilihat dari keseluruhan karya Navis, kata, kalimat, dan wacana dari
setiap karangannya adalah berupa sindiran. Inilah ciri khas dari Navis.
Sindiran-sindiran yang ditampilkan Navis telah merupakan model
tersendiri atau wacana Navis adalah demikian.
Pembaca
dalam hal ini adalah pembaca arif akan situasi dan suasana. Dengan gaya
bahasa khas ironi, Navis berhasil menggiring pembaca pada persoalan dan
mengantarkan pembaca pada suatu jawaban, meskipun kemudian pembaca juga
mempunyai jawaban yang lain lagi. Akhirnya pengarang yang baik adalah
pengarang yang berhasil mengungkapkan pikirannya lewat karya dan
berhasil di-tangkap pembaca dengan baik. Dan pembaca yang baik tentulah
pembaca yang dapat mengambil amanat dan maksud dan ide pengarang,
sehingga dimana saja dan kapan saja ide tersebut dapat berkembang sesuai
dengan situasinya.
Daftar Pustaka
Abdullah, Imran T. 1984. “Resepsi Sastra Teori dan Penerapannya” dalam majalah Humaniora No. 1 tahun 1984 hal. 71.
---------------------
1993. “Burung-Burung Rantau: Pengarang, Teks, Pembaca dalam Rangkaian
Pemaknaan”. Makalah Diskusi Buku Sastra dan Temu Pengarang PBSI FKIP dan
Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Damono, Sapardi Djoko, 1992. “Kata Pengantar” dalam Novel Kemarau. Jakarta; Grasindo
Eneste, Pamusuk, 1993. Proses Kreatif. Jakarta Gramedia.
Jassin, H. B. 1984. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta; Gramedia.
Martin, Wellace. 1980. Recent Theories of Narrative. New York; Cornell University Press.
Navis. A. A. 1966. Robohnya Surau Kami. Bukittinggi; Nusantara.
-------------- 1992. Kemarau. Jakarta; Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar