TENTANG SASTRA
Oleh: Drs. Hermawan, M. Hum.
Sungguh suatu kebahagiaan ketika saya mendapatkan undangan panitia
seabad dan haul Soeman Hs. Saya ditunjuk sebagai pembicara. Sekitar
bulan Oktober 2003 saya pernah mengirim SMS kepada Saudara Dasri Al
Mubary untuk memberitahukan bahwa tahun 2004 adalah seabad Soeman Hs.
Saya berharap Dasri dan kawan-kawan mengadakan acara karena Soeman Hs.
salah seorang pemuka masyarakat Riau yang perlu dihormati. Apalagi dalam
dunia kesusasteraan Soeman Hs. termasuk perintis dan Bapak cerpen
Indonesia.
Ketika saya baca surat dari panitia seabad dan haul Soeman Hs. saya
sangat bahagia. Dengan tema yang sangat menarik yaitu “Dengan Haul
Soeman Hs. Mari Tingkatkan Kualitas Pendidikan dan Kreatifitas Anak
Bangsa Menuju Visi Misi Riau 2020”., kegiatan memperingati haul Suman
Hs. jadi juga terangkat. Saya menjadi bertambah bahagia. Kebahagiaan
bertambah lagi dengan disejajarkannya saya tampil sebagai pemakalah
dengan orang penting dan dipentingkan di Riau. Lebih lengkap lagi
kebahagiaan itu adalah tampilnya saya dari luar Riau. Terima kasih untuk
semua ini kepada panitia dan hadirin saat ini.
Berbicara tentang sastra memang amat menarik karena sastra merupakan
suatu dunia yang di dalamnya ada kehidupan. Banyak hal yang dapat
dibicarakan
melalui
sastra. Dalam sebuah karya sastra kita dapat melihat berbagai dunia dan
ilmu pengetahuan, sedangkan dalam berbagai ilmu pengetahuan kita belum
dapat melihat sastra. Inilah menariknya.
Sebuah karya sastra yang baik dan menjadi monumental akan selalu dapat
dibicarakan, dikaji dan diteliti tanpa usang. Membaca sebuah karya
sastra hari ini akan beda dengan membaca sebuah karya sastra yang sama
esok harinya, sehingga Hang Tuah, Romeo dan Juliet, Siti Nurbaya dan
lain-lain tidak bosan dan habisnya orang bicarakan. Setiap kali dibaca
sebuah karya sastra akan ada saja hal baru yang muncul, begitulah
seterusnya.
Bagi
kita pengumpul dan pecinta buku akan menjadi kaya seumur hidup baik
secara isi dari karya tersebut maupun secara koleksi, sebab mengoleksi
buku sastra berarti mengoleksi kebudayaan atau bahasa yang tak pernah
habis.
Apa benarkan sastra itu?
Sangat banyak defenisi tentang sastra dari berbagai pendapat. Kalau
ditulis mungkin akan menghabiskan kata-kata. Masing-masing kita juga
punya defnisi sendiri, tergantung dari mana kita mendefenisikan karya
tersebut. Saya mencoba mendefenisikan karya sastra ini adalah suatu yang
punya tokoh atau rekaan. Selain dari itu berarti bukan sastra karena
beda karya sastra dengan yang lainnya adalah tokoh atau rekaan itu.
Bagi pengarang sastra merupakan tempat “berlindung” karena pengarang
bisa bicara apa saja dan bila dituntut mereka berdalih itu sastra.
Walaupun seorang sastrawan menulis sebuah peristiwa faktual yang
benar-benar terjadi dalam masyarakat, orang akan tetap membacanya
sebagai sebuah karya fiktif. Sekiranya kita berandai-andai, bahwa Soeman
Hs. hidup masa sekarang dan menyaksikan peristiwa konflik antara Bupati
Kampar dengan para guru yang terjadi baru-baru ini lalu dia menulis
peristiwa itu sedemikian dramatis dan tragis dalam sebuah cerpen orang
tidak akan dapat menuntut Soeman Hs. Akan tetapi bila seorang wartawan
menulis peristiwa tersebut tidak faktual dalam sebuah berita, maka
wartawan tadi dapat dituntut karena membuat berita tidak sesuai dengan
fakta yang terjadi di lapangan. Jadi sebuah karya yang berasal dari
sumber yang sama akan mempunyai dampak yang berbeda ketika karya itu
ditulis dengan niat yang berbeda. Satu diniatkan sebagai karya sastra
dan yang lainnya diniat sebagai berita.
Bangun
tidur kita bersastra dengan ungkapan kata-kata: “Aku mimpi menggosok
gigi/ketika bangun gigiku tinggal dalam mimpi/aku tidur lagi ambil itu
gigi/ dalam tidur aku mimpi gigiku menggosok-gosok…”
Mau tidur waktu kecil dininabobokan dengan sastra didendangkan dengan
pantun-pantun atau cerita-cerita tentang pahlawan dan sebagainya.
Sastra bahasa yang indah. Sastra tidak menjadi indah bila tanpa bahasa.
Bahasa dapat indah tanpa sastra. Yang menentukan indahnya bahasa bukan
sastra, tetapi sebaliknya yang menopang keindahan sastra adalah bahasa.
Menurut Islam yang pertama ada itu adalah Kalam atau bahasa. Akan tetapi
uniknya, di Yunani bahasa digunakan sebagai medium untuk mengungkapkan
persoalan-persoalan filsafah secara sastrawi. Baca Homerus misalnya.
Homerus adalah karya sastra pertama di dunia yang ditulis oleh
Aristoteles. Begitu juga di negeri kita ini, pelajaran-pelajaran moral,
pendidikan, hubungan antar manusia diungkapkan secara sastrawi. Baca
saja misalnya pantun bidal, mamang atau kaba. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa bahasa secara tradisional digunakan secara sastrawi.
Kesusasteraan adalah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan
atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkn peristiwa
kehidupan masyarakat atau anggota masyarakat. Sangat sulit memang
seorang sastrawan menciptakan suatu masyarakat imajinatif dalam sebuah
karya sastra tanpa mengindahkan masyarakat objektif yang berada di luar
sastra. Dalam sastra konvensional tidak pernah kita temukan kehidupan,
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat imajinatif yang
bertentang dengan kehidupan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
masyarakat objektif. Tidak ada suatu kejadian yang terjadi dalam
masyarakat imajinatif yang tidak terdapat dalam masyarakat objektif.
Kalaupun ada itu disebut absurd. Akan tetapi, dalam sastra absurd pun
tidak semua kejadian dalam masyarakat imajinatif yang bertentangan
dengan masyarakat objektif, kecuali untuk sebagian kecil kejadian. Baca
saja misalnya karya Iwan Simatupang “Merah Merah”. Dalam novel ini,
seorang tokoh jatuh dari gedung tinggi ketika terik panas matahari. Dia
jatuh di atas tubuh seorang gadis yang ketika lewat di sana. Di atas
aspal jalan yang panas itu dia menimpa tubuh gadis itu dan kemudian
langsung bersetubuh. Dia tidak mati dan gadis itu pun tidak mati.
Peristiwa itu dalam kehidupan nyata tidak akan pernah terjadi. Ini
bertentangan dengan realitas yang sebenarnya. Tetapi dapat dibenarkan
dalam realiatas imajinatif. Absurd memang, karena karya itu merupakan
karya sastra absurd.
Secara ringkas dapat dirumus pengertian kesusasteraan sebagai berikut.
- Seni bahasa (STA)
- Tafsir hidup, seperti hidup itu tergantung dalam pikiran orang yang menafsirkan (W. H. Hudson)
- Keindahan yang dilahirkan oleh bahasa ialah bahasa kesenian, bahasa atau seni sastra (Madong Lubis)
- Penjelmaan Pribadi yang luhur dengan kata/bahasa dalam bentuk yang tepat (A. Samidi)
- Suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek & Warren)
Perkembangan
keadaan sastra sekarang sangat baik, terutama sastra koran. Sastra
koran muncul ketika rubrik budaya ditempatkan sebagai salah satu rubrik
dalam kolom-kolom surat kabar. Melalui rubrik itu terbuka peluang yang
besar untuk berkembang sastra. Banyak penulis mengisi kolom rubrik itu
dengan berbagai karya sastra, apakah itu cerpen, puisi atau kritik
sastra. Dengan munculnya rubrik budaya tersebut, perkembangan sastra
semakin marak. Banyak bermunculan penulis-penulis baru, pendatang baru
dalam dunia sastra. Bahkan diantaranya ada yang mengukuhkan diri sebagai
sastrawan, dan mengembangkan dirinya, sehingga dia tidak lagi hanya
menulis dikoran akan tetapi telah menerbitkan buku-buku sastra, apakah
berbentuk kumpulun puisi, kumpulan cerpen atau sebuah novel. Di sisi
lain ada juga yang kemudian lenyap disapu angin, tak berbekas, sehingga
orang lupa akan namanya. Dia tidak pernah hidup lagi.
Banyak karya sastra
yang diterbitkan dalam bentuk buku, namun distribusinya masih kurang.
Penerbit masih mempertimbangkan nilai bisnis ketimbang mempertimbangkan
peningkatan apresiasi masyarakat. Oleh karena itu, oplah penerbitan buku
sastra relatif kecil karena diragukan akan habis terjual. Akibatnya
distribusi penjualan buku-buku sastra hanya terbatas di kota-kota besar
dan toko-toko buku tertentu saja. Jikalau kita membutuhkan sebuah buku
sastra kita tidak mendapatinya disembarang tokoh buku. Harus dicari pada
toko buku tertentu, seperti Gramedia atau Angkasa kalau di Padang. Di
toko-toko kecil kita tidak akan menemukan buku sastra.! Oleh karena
itulah apresiasi sastra di masyarakat relatif rendah karena kurangnya
karya sastra terdistribusi. Penyebab lain adalah kurangnya apresiasi
pengajar sastra (baca Horison Desember 2003).
Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan apresiasi sastra
kepada masyarakat namun hasilnya masih kurang, seperti yang dilakukan
SBMM (Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca). Malahan mahasiswa sastra dan
pengajar sastra banyak yang tidk membaca karya sastra.
Soeman Hs. telah memulai bersastra, namun kurang terlanjutkan oleh
pengarang berikutnya terutama tentang cerita detektif dan humor. Cerita
detektif dan humor hanya kita jumpai dalam bentuk media audiovisual.
Tidak adanya penerus Soeman Hs. barangkali disebabkan tidak banyak
generasi kita yang meminati masalah detektif dan humor. Menggarap
cerita detektif memerlukan banyak pengetahuan, baik yang berkaitan
dengan psikologi, intelejen dan masalah-masalah medis. Artinya, menulis
cerita detektif, tidak saja dituntut ketrampilan menulis, menyusun
adegan-adegan sehingga menarik untuk dibaca tetapi juga keahlian lain
yang berkaitan dengan dunia kejahatan. Hal yang semacam tidak tidak
dimiliki oleh generasi kita sekarang.
Menulis humor ini apalagi. Kita bisa saja menertawakan orang atau diri
sendiri, tetapi kita tidak bisa membuat orang tertawa ketika membaca
tulisan kita. Kalaupun mungkin, orang mungkin akan tertawa dengan apa
yang kita tulis. Karena kita tidak ingin ditertawakan orang, maka
generasi kita kurang meminati menulis karya-karya yang dapat menyebabkan
orang tertawa. Oleh karena itu, Soeman Hs. tetap sendiri dalam
kesendirinya. Marilah kita renungkan makna kesendirian itu
sendiri-sendiri, sebaris-sebaris, tanpa kata dan suara.
Demikianlah tentang sastra. Terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar