PROFIL WANITA DALAM KABA
Hermawan
Pendahuluan
Profil
wanita Indonesia pada saat iii dapat digambarkan sebagai manusia yang
hams hidup dalam situasi dilematis. Maksudnya di sate sisi wanita
Indonesia dituntut untuk berperan dalam semua sektor, tetapi di sisi
lain muncul pula tuntutan lain agar wanita tidak melupakan kodratnya
sebagai wanita. Misalnya wanita Indonesia yang berkarir. Wanita karir
iii, di satu sisi merasa terpanggil untuk mendarmabaktikan bakat dan
keahliannya bagi perkembangan bangsa dan negara Indonesia. Di sisi lain
mereka dihantui oleh opini yang ada dalam masyarakat yang melihat bahwa
wanita karir/ibu karir sebagai salah satu sumber ketidakberhasilan
pendidikan anaknya dan yang sangat memprihatinkan adalah opini di
kalangan masyarakat yang melihat bahwa wanita karir adalah "pengganggu
suami orang lain" (Soetrisno, dalam Ridjal, 1993: 108).
Menurut
Armini (1986: 45) wanita pekerja tercitra sebagai wanita yang berada
dalam situasi ambivalen atau berwajah Banda. Di satu sisi wanita pekerja
ingin memupus anggapan bahwa tugas utama wanita adalah di sektor
domestik, tetapi di sisi lain anggapan itu dikokohkan. Kemudian di satu
sisi wanita pekerja ingin mengubah pandangan kedudukan wanita tidak
setara dengan pria, tetapi di sisi lain wanita justru bertindak
sebaliknya.
Lebih
lanjut diungkapkan Lokman Soetrisno bahwa terjadinya dilematis wanita
Indonesia tersebut disebab oleh pertama, bahwa Indonesia adalah salah
satu negara yang pluralistik dari segi etnik dan kebudayaannya; kedua,
situasi dilematis yang saat iii dihadapi oleh wanita Indonesia merupakan
hasil dari suatu proses interaksi dari berbagai faktor sosial dan
politik yang berkembang si negara Indonesia; tiga, adanya pluralisme
etnik dan kebudayaan itu maka tidak mungkin secara adhock membuat suatu
pendapat yang mengeneralisir bahwa wanita Indonesia sejak semula
memiliki kedudukan yang rendah tanpa mempelajari kedudukan wanita dalam
konteks kebudayaan dari masingmasing suku bangsa yang di bumi nusantara
ini. Wanita Minangkabau tidak dapat disangkal lagi memiliki kedudukan
yang sederajat dengan lelaki bahwa dalam kebudayaan Minangkabau wanita
justru mempunyai kedudukan yang jauh lebih tinggi dari pada kaum lelaki
karena mereka dianggap penjaga dari harta pusaka keluarga (Soetrisno
dalam Ridjal, 1993: 108).
Masyarakat
Minangkabau memiliki keunikan bila dibanding dengan masyarakat kultur
lainnya di Indonesia. Keunikan iii disebabkan oleh paham matrilineal
yang dianut oleh masyarakat Minangkabau yang mengambil garis keturunan
menurut garis ibu. Dengan paham yang dianutnya iii, peranan dan
kedudukan wanita menjadi lebih panting di dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau (Asri, 1996: 3). Pentingnya posisi wanita dalam keluarga
juga diungkapkan oleh Holleman dan Vreede-De Stuers (dalam Baried, 1994:
6) yang mengatakan bahwa wanita dalam sistem matrilineal, yaitu menurut
garis keturunan ibu, kedudukan wanita panting karena di tangannyalah
kehidupan keturunan tergantung. Dalam sistem ini pihak wanita adalah
memegang keutusan dan berwenang menentukan kebijaksanaan. Untuk melihat
bagaimana peranan dan kedudukan wanita Minangkabau dalam kehidupan
masyarakat dengan konsepsi budaya adatnya akan dilakukan penelitian
melalui karya sastranya yaitu kaba.
Kaba,
salah satu karya sastra tradisional Minangkabau, secara langsiung atau
tidak tentu akan memberikan gambaran tentang kultur ;Minangkabau
termasuk wanita dan segala aspek kehidupannya. Ini sesuai dengan
pendapat Damono (1979: 1) yaitu bahwa karya sastra diciptakan oleh
sastrawan untuk dinikmati, 'dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sejalan dengan itu, H.B. Jassin (1983: 4) mengemukakan bahwa karya
sastra selalu menarik perhatian karena mengungkapkan penghayatan manusia
yang paling dalam, dalam perjalanan hidupnya di segala zaman dan di
segala tempat di dunia ini. Melalui karya sastra sebagai basil kesenian,
kita memasuki dunia pengalaman bangsa dan bangsa-bangsa dalam sejarah
dan masyarakatnya, menyelami apa yang pernah dipikirkan dan dirasakan
dan dengan demikian menambah kearifan dan kebijaksanaan dalam kehidupan.
Menurut
Soeratno (1994: 14) sastra dipahami sebagai sarana "penghibur duka
lara", sebagai pembawa rasa tenang, sebagai "pelipur hati bagi yang
memendam cinta berahi", sebagai "perintang-perintang waktu",
sebagai dokumen penyaji informasi masa lampau, sebagai legitimasi suatu
kekuasaan, sebagai penyangga pranata sosial, sebagai pembawa ajaran
moral, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat,
dan sebagai pencerdas bangsa.
Kaba sama dengan `kabar' (Junus, 1984a: 17; Navis, 1986: 243)
sehingga
juga berarti `berita'. Sebagai istilah ia menunjuk suatu jenis sastra
tradisional lisan Minangkabau yang diceritakan oleh seorang tukang kaba
dengan diiringi saluang, rebab, dan slat musik lainnya atau melalui pertunjukan randai. Kaba
berbentuk prosa liris. Bentuk ini tetap dipertahankan bila diterbitkan
dalam bentuk buku. Kesatuannya bukan pada kalimat dan bukan pada bans.
Kesatuannya ialah pengucapan dengan panjang tertentu yang terdiri dari
dua bagian yang berimbang.
Sesuai
dengan hakikatnya sebagai fiksi, cerita kaba mengungkapkan pelbagai
masalah kehidupan manusia dengan keunikan penyampaian yang spesifik.
Penyampaian yang terjadi padu akan melukiskan kehidupan masyarakat
Minangkabau yang kompleks dan dapat menyampaikan pesan sebaik-baiknya
kepada masyarakat pembaca (Udin. 1982: 99).
Kaba sebagai bentuk karya sastra dari satu sisi dapat berfungsi sebagai "cermin dari masyarakat",
Ini sesuai dengan konsep Alan Singewood yang menyatakan sastra adalah
cermin masyarakat, atau cermin suatu zaman atau sastra adalah refleksi
atau refraksi sosial (dalam Damono, 1979: 4; Junus, 1934: 57).
Beberapa pemikiran semacam itulah yang menjadi faktor pendorong untuk meneliti profil wanita dalam kaba Minangkabau dan hubungannya dengan keadaan yang ada dalam masyarakat Minangkabau sesuai dengan sistem dan adat yang dianut. Dengan
penelitian ini, diharapkan beberapa hal yang menyangkut pemikiran,
sikap, pandangan dan perilaku wanita Minangkabau dapat dikenali dan
diidentifikasikan. Pada tahap selanjutnya diharapkan akan dan
diidentifikasikan. Pada tahap selanjutnya diharapkan akan dapat
memberikan masukan-masukan positif dalam pengembangan kebudayaan
nasional pada umumnya, pengembangan kesusasteraan daerah khususnya.
Penelitian
ini mempergunakan kaba yang representatif yaitu; (1) kaba Cindua Mato
(CM) yang diangkat dari basil penelitian filologis M. Yusuf dengan judul
"Persoalan Transliterasi dan Edisi Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung
(Kaba Cindua Mato) "; (2) kaba Anggun nan Tungga (ANT) karya Ambas
Mahkota; (3) kaba Malin Deman (MD) dari kajian filologis Nurizzati dengan judul "Kaba Malin Deman sebuah Kajian Filologis".
Pendekatan Teoritis
Penelitian
profil wanita dalam kaba Minangkabau ini dilakukan dengan memanfaatkan
teori yang memadai. Teori yang memadai tersebut adalah teori yang dapat
mengungkapkan dan menjawab permasalahan
yang dirumuskan
di atas. Teori Yang dapat mengungkapkan tentang permasalahan di atas di
atas adalah sosiologi sastra, karena sejak semula penelitian ini sudah
membicarakan tentang sosiologi sastra.
Dengan sosiologi sastra
ada dua hal yang tercakup, yakni "sosiologi" dan "sastra". Weber (dalam
Susanto, 1983: 2) mengatakan bahwa sosiologi adalah cabang ilmu yang
mengerti, dan menjelaskan tindak tanduk sosial manusia yang mempunyai
pengaruh terhadap masyarakat. Tindakan sosial adalah tindakan yang oleh
individu dimaksudkan untuk mempunyai pengaruh terhadap tindakan, dan
sikap orang lain, dan bahwa faktor lain itu diperhitungkan dalam
tindakan semulanya. Ada pun objek materi sosiologi ialah kehidupan
sosial manusia, dan gejala suatu proses hubungan yang mempengaruhi
kesatuan hidup (Susanto, 1983: 4).
Sejalan
dengan itu Damono (1979: 7) menyatakan bahwa sosiologi adalah telaah
yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat; telaah tentang
lembaga dan proses sosial. Sementara itu, sastra juga berurusan dengan
manusia dalam masyarakat; usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan juga
usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Oleh sebab itu, sesungguhnya
sosiologi dan sastra berbagi hal yang sama. Perbedaannya adalah bahwa
sosiologi melakukan analisis ilmiah dan objektif, sedangkan novel
(sastra) menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan memperlihatkan
cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya (Damono,
19789: 8).
Junus
(19846: 3-5) membahas teori tentang karya sastra sebagai dokumen
sosio-budaya. Dalam hal ini, sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya
yang mencatat kenyataan sosio-budaya atau masyarakat pada masa
tertentu. Pendekatan ini hanya tertarik pada unsur-unsur sosiobudaya
yang terdapat dalam karya itu sendiri yang dilihat sebagai unsur-unsur
lepas dari kesatuan karya. Kajian tersebut hanya mendasarkan kepada
cerita tanpa mempersoalkan struktur karya. Oleh karena itu, terdapat
tiga kemungkinan yang dapat ditempuh dalam pendekatan ini, yakni:
- Suatu unsur dalam karya sastra diambil secara terlepas dari hubungannya dengan unsur lain dan kemudian dihubungkan langsung dengan suatu unsur sosio-budaya;
- Pendekatan ini boleh mengambil "citra" tentang sesuatu – wanita, laki-laki, orang asing, tradisi, dunia modern dan lain – dalam suatu karya atau beberapa karya yang mungkin saja dilihat dalam perspektif perkembangan. Dengan demikian, maka akan dapat terlihat perkembangan citra tentang sesuatu tersebut.
- Pendekatan ini boleh mengambil motif atau tema yang keduanya berbeda secara gradual.
Dalam
penelitian ini akan dilihat profil wanita dalam kaba dan kaitannya
dengan konsepsi budaya dan 'adat Minangkabau yang melatari terciptanya
kaba. Oleh sebab itu, permasalahanlah yang menjadi dasar penelitian
bukan struktur, seperti yang diungkapkan Umar Junus di atas.
Pengungkapkan
profil menggunakan teori psikologi, karena profil yang dimaksud di sini
adalah kepribadian atau personality. Psikologi menurut Walgito (1993:
9) merupakan suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tentang
tingkah laku atau aktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup
kejiwaan.
Kepribadian
(personality) menurut Sartain (1958: 134-134) istilah yang menunjukkan n
suatu organisasi/susunan daripada sifat-sifat dan aspek-aspek tingkah
laku lainnya yang saling berhubungan di dalam suatu individu.
Dengan
demikian, usaha untuk mendeskripsikan profil wanita dalam kaba ini
dilakukan dengan melihat sikap dan tingkah laku wanita ketika berhadapan
dengan konflik; bagaimana ia menghadapi permasalahan, menyikapi,
menyelesaikan, dan menindaklanjuti yang pada akhirnya bermuara pada
konsepsi tentang kehidupan.
Cara Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan untuk mendeskripsikan profil
wanita dalam kaba Minangkabau dan hubungannya dengan konsepsi budaya dan
adat istiadat Minangkabau. Berdasarkan landasan teori di atas, maka
dijabarkanlah langkah-langkah operasional penelitian ini menjadi
beberapa tahap kegiatan.
- Merumuskan profil wanita dalam kaba Minangkabau sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat terhadap pandangan, keindahan, cinta kasih, tanggung jawab, harapan, dan keadilan.
- Merumuskan peranan wanita dalam kaba Minangkabau terhadap keluarga dan masyarakat.
- Merumuskan hubungan profil wanita dalam kaba Minangkabau dengan konsepsi budaya dan adat istiadat yang dianut pada wanita itu.
Hasil dan Pembahasan
Peran
wanita dalam keluarga yang ditemui dalam penelitian ini adalah sebagai
istri dan teman hidup dari sang suami, partner dalam bidang seksual,
pengasuh dan pengatur rumah tangga bagi anak-anak dan
asumsinya, menjadi anggota masyarakat lainnya. Sebagai istri wanita
dalam kaba ada yang setia sampai akhir hidupnya mendampingi suami
seperti Puti Linduang Bulan dengan Rajo Muda, Puti Bungsu dengan Dang
Tuanku (CM); Puti Mayang Sani dengan Rajo Tuah (MD). Ada wanita yang
menjadi istri (didampingi suami) hanya sampai mempunyai anak Baja
kemudian berpisah seperti, Puti Lenggogeni dengan Cindua Mato setelah
lahir anaknya Sutan Amirullah dan Puti Lembak Tuah (CM); Andami Sutan
dengan Anggun nan Tungga menjelang lahir anaknya Mandugo Ombak. Ameh
Manah dengan Nankodo Rajo setelah lahir anaknya Puti Gondoriah, Ganto
Pomai dengan Tuanku Haji Mudo menjelang lahir anaknya Anggun nan Tungga,
Galinggang Layua dengan Tuanku Haji Mudo setelah lahir anaknya Katik
Alamsudin (ANT); Puti Bungsu dengan Malin Daman setelah lahir anaknya
Malin Duano
Kehidupan
wanita sebagai istri pada umumnya tampak sementara saja. Hal ini dapat
dicermati berdasar basil penelitian disebabkan; (a) wanita (istri) tidak
selalu menggantungkan kehidupan sosialnya kepada lelaki (suami); (b)
keterikatan suami dengan keluarga ibu; (c) menghormati profesi suami;
(d) berasal dari dunia yang berbeda. Walaupun penyebab perpisahan itu
dapat dipilah-pilah, tetapi semua sating terkait dan secara keseluruhan
mengkristal sehingga terjadilah perpisahan secara bail; dan sukarela.
Dengan demikian, terlihatlah bahwa wanita dalam kaba perkasa secara
psikis tetapi tidak memiliki keperkasaan pisik. Wanita menguasai pikiran
dan perasaan suami dan anaknya. Wanita kukuh dan tegar dengan
pendiriannya, prinsip, dan tujuan hidupnya.
Wanita dalam lingkungan
keluarga terpusat pada perannya sebagai ibu, yakni sebagai orang yang
mendominasi kepentingan anak-anaknya. Wanita sebagai motivator,
pendidik, dan sekaligus hakim bagi anak-anaknya. Wanita sebagai seorang
ibu dalam kaba ini mengutamakan kepentingan anak-anaknya, melihat
tanggung jawab yang penuh dalam hal membesarkan dan mendidik anak.
Wanita membesarkan dan mendidik anak dilakukan dengan penuh rasa
tanggung jawab, welas kasih, dan mandiri. Wanita sebagai ibu mempunyai
rasa sosial, toleran, tegar, dan kreatif dalam lingkungan keluarganya.
Dalam hal segala kebutuhan anak, wanita selalu berusaha untuk
memenuhinya dengan mandiri dan memberikan kebutuhan tersebut sesuai
dengan kodrat anaknya. Untuk anak laki-laki diberikan pendidikan yang
ada hubungan dengan kepentingan di luar keluarga atau laki-laki
diberikan pendidikan yang berbeda dengan anak wanita. Harapan wanita
bahwa anak laki-laki merupakan perpanjangan tangan wanita di luar
keluarga. Anak wanita dianggap sebagai pewaris dalam keluarga, sehingga
diberikan pendidikan yang menyangkut kepentingan keluarga. Dengan kata
lain, bahwa anak laki-laki akan mempunyai peran sebagai figur publik dan
anak wanita sebagai figur domestik.
Wanita
sebagai anak dididik untuk patuh kepada orang tua terutama ibu, karena
ibu lebih dekat dengan anak dari pada ayah. Ini terlihat dalam kehidupan
yang ada dalam kaba bahwa ternyata anak dibesarkan oleh ibu tanpa ayah.
Cindua Mato dan Dang Tuanku dibesarkan oleh Bundo Kandung tanpa ayah.
Puti Ranik Jintan dan kakaknya Rajo Imbang Jayo hidup jauh dari ayah
(CM). Anggun nan Tungga dan Katik Lamsudin yang ditinggal ayah sebagai
seorang pertapa. Gondoriah yang ditinggal ayah pergi merantau. Sebagai
seorang anak wanita mendapat pendidikan terarah mengenai
kerumahtanggaan, karena wanita kelak diharapkan nanti juga sebagai ibu
dalam keluarga dan sekaligus pewaris keluarga. Dalam hubungan dengan
ayah, anak wanita akan harmonis bila kepentingannya tidak terganggu.
Bila kepentingannya terganggu maka anak wanita akan menjauhkan diri dari
ayahnya seperti yang dilakukan Puti Bungsu dalam kaba Cindua Mato.
Wanita
sebagai kakak dianggap sebagai pengganti ibu untuk mengkomunikasikan
kegiatan yang hendak dilakukannya. Ini terlihat pada Bundo Kandung dan
Puti Bungsu ketika mencari jalan keluar yang terbaik dalam suatu
persoalan. Sebagai adik wanita juga menjadi panutan seperti wanita
sebagai kakak. Ini juga terlihat pada Puti ranik Jintan yang sering
membantu kakaknya Rajo Imbang Jayo dalam berbagai persoalan. Begitu juga
dengan Suto Sori terhadap kakaknya Katik Intan, Mangukudum Sad. dan
Nankodo Rajo untuk diselamatkan dari kungkungan bajak laut. Jadi
jelaslah bahwa peran wanita sebagai kakak atau adik bagi saudara
laki-lakinya merupakan peran sebagai pengganti ibu. Terhadap saudara
wanita peran kakak wanita juga sebagai ibu, sedangkan peran adik wanita
terhadap saudara wanita begitu juga, namun dalam mengambil keputusan
tetap berada di tangan kakak sebagai wanita.
Peran
wanita sebagai nenek akan ditentukan leh keharmonisan hubungan ibu
dengan anak. Bila seorang anak kurang harmonis dengan ibunya, maka
kekurangan harmonis tadi akan berlanjut dengan cucunya, begitu juga
sebaiknya.
Wanita
sebagai pimpinan masyarakat mementingkan perasaan dan pikiran, sehingga
wanita lebih sering memberikan keputusan sesuatu hal dalam
kepemimpinannya terhadap laki-laki. Ini terlihat pada Bundo Kandung yang
menjadi raja dalam kaba Cindua Mato. Wanita dalam kaba selalu
menyalurkan maksud dan tujuannya terhadap laki-laki. Hal semacam ini
terlihat pada Ganto Pomai dan Bundo Kandung ketika mewujudkan keinginan
menyelamatkan saudara-saudaranya dan memutuskan untuk berperang dengan
Rajo Imbang Jayo dengan Tiang Bungkuk.
Dalam
kehidupan masyarakat lainnya, wanita lebih banyak berperan dalam
keluarga dengan kemampuannya dan dalam masyarakat pekerjaannya juga
adalah pekerjaan yang didapatnya sebagai anggota keluarga. Wanita lebih
banyak mengerjakan pekerjaan yang bersifat kewanitaan ataudomestik.
Peran wanita dalam masyarakat yang ditemui dalamkaba ini diantaranya
sebagai pembantu rumah tangga seperti yang dilakukan Kambang Bandahari.
Peran lainnya sebagai dukun beranak seperti yang dilakukan Ameh
Manah. Pengelola kebun bunga dan ibu angkat seperti yang dilakukan oleh
Mande Rubiah Randa Kaya dan Mande Rubiah Pakan Bunga. Pekerjaan wanita
lainnya adalah sebagai penjemur hasil pertanian dan pengembala ternak.
Profil
wanita yangdimaksud dalam penelitian ini adalah melihat tingkahlaku
wanita ketika berhadapan dengan konflik; bagaimana ia menghadapi
permasalahan, menyikapi, menyelesaikannya, dan menindaklanjutinya yang
pada akhirnya bermuara pada konsepsi tentang kehidupan. Untuk mewujudkan
hal tersebut, maka perlu diungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan
tingkah laku yaitu pandangan hidup, keindahan, cinta kasih, tanggung
jawab, harapan, dan keadilan. Pandangan hidup wanita dalam kaba ini
adalah pandangan hidup yang menerima apa adanya. Pandangan hidup wanita
yang dianggap benar adalah konservatif yaitu mengokohkan tradisi dan
kebiasaan yang ada sebelumnya. Ini jelas terlihat pada setiap wanita
dalam kaba seperti Puti Bungsu yang semula dijodohkan dengan Dang Tuanku
tidak mau lagi dijodohkan dengan Rajo Imbang Jayo. Hal Ini karena
sebelumnya sudah disepakati secara bersama, sehingga Puti Bungsu tidak
mau mengkhianati kesepakatan bersama itu. Begitu juga dengan Gondoriah
yang mempunyai pendirian kokoh terhadap janjinya dengan Anggun nan
Tungga. Kekukuhan dirinya juga terlihat pada Bundo kandung yang tidak
mau kawin lagi. Begitu juga dengan Ganto Pomai. Di sisi lain terlihat
juga wanita yang sangat patuh kepada orang tua sehingga pilihan jodoh
pun ditentukan meskipun jodohnya tersebut sudah mempunyai istri. Ini
terlihat pada Puti Reno Bulan yang mau dikawinkan dengan Cindua Mato.
Bagi
wanita dalam kaba, keindahan dapat diwujudkan secara lahir batin.
Secara lahir dapat dilihat dalam bentuk penampilan, pakaian, dan
pandangan, sedangkan secara batin diungkapkan melalui ucapan dengan
susunan atau rangkaian kata-kata yang indah dan disusun dalam bentuk
pantun.
Wanita
dalam kaba adalah wanita yang menempatkan cinta kasih sebagai sesuatu
yang agung, luhur dan sakral. Wanita dalam kaba adalah wanita yang setia
pada pilihan hatinya. Di dalam menyikapi cinta kasihnya ini wanita
sangat teguh. Wanita tidak mau melanggar atau mengkhianati suatu
persekutuan karena dianggap suatu kesalahan besar. Puti Bungsu bersedia
lari dibawa Cindua Mato, meskipun dia akan dinikahkan dengan Rajo Imbang
Jayo, untuk mewujudkan cinta kasihnya dengan Dang Tuanku. Gondoriah
bersedia Ian ke gunung ledang demi kesucian cinta kasihnya terhadap
Anggun nan Tungga. Kesucian cinta kasih yang lain terlihat pada
Lenggogini (CM), Puti Bungsu (MD) yang tidak mau menggantikan kedudukan
suaminya dengan lelaki lain. Bagi Puti Reno Bulan (CM) dan Santan Batapi
(MD) cinta kasihnya sebagai istri kedua merupakan cinta kasih yang
punya landasan kesepakatan tersendiri. Bentuk kesepakatan tersendiri
yang lainnya juga dilakukan oleh Santan Batapi (ANT). Wujud cinta kasih
antara ibu dan anak adalah pertanggungjawaban membesarkan dan mendidik
anak sampai dewasa dan berumah tangga. Sebaliknya anak memberikan cinta
kasih kepada ibu dengan mengabdi dan patch terhadap apa yang telah
diberikan ibunya. Cinta kasih sebagai anggota keluarga bagi wanita dalam
kaba adalah menjaga jangan hancur, meskipun membutuhkan pengorbanan
yang sangat dalam.
Wanita
dalam kaba merupakan wanita yang penuh tanggung jawab dalam menjalani
kehidupannya terhadap berbagai peran. Beban yang dipikul wanita sesuai
dengan peran dan kodratnya dihadapi dengan penuh rasa tanggung jawab.
Wanita dalam kaba adalah wanita yang bertanggung jawab atas peran dan
tugas yang diembannya. Bundo Kandung (CM), Suto Sori (ANT) sesuai dengan
perannya sebagai ibu memperlihatkan tanggung jawabnya membesarkan dan
mendidik anak. Tanggung jawab sebagai istri adalah mengatur dan membina
rumah tangga yang baik serta membesarkan anak. Dalam kaba semua istri
telah melakukan tanggung jawabnya sesuai dengan perannya, meskipun dia
berpisah dengan suaminya, namun anak tetap dibawa. Tanggung jawab
sebagai anak adalah mematuhi segala aturan dan norma yang telah
ditentukan orang tua. Patuh akan segala perintah orang tua merupakan
tanggung jawab yang diberikan kepada setiap wanita. Demi tanggung jawab
yang diberikan kepada setiap wanita dalam kaba sebagai anak mereka rela
berkorban.
Pengorbanan
itu dapat saja merugikan dirinya. Seperti Puti Reno Bulan yang rela
dimadu oleh Cindua Mato. Tanggung jawab sebagai kakak adalah melindungi
dan mengingatkan adik dari perbuatan yang tidak baik menurut norma yang
ada. Akan tetapi tidak jarang pula adik kurang mematuhi apa yang
diberikan kakaknya seperti yang dilakukan Puti Bungsu (MD).
Tanggung
jawab sebagai adik terhadap kakak adalah menjaga kemaslahatan kakak.
Mengambil alih tanggung jawab kakak bila kakak tidak ada seperti yang
dilakukat si kambang terhadap Gondoriah dan Puti Ranik Jintan terhadap
Rajo Imbang Jayo.
Wanita
mewujudkan harapannya terhadap anak. Mulai dari kecil para wanita sudah
berharap agar anaknya nanti menjadi manusia yang berguna bagi keluarga
dan masyarakat. Ganto Pomai berharap anaknya menjadi contoh dan tauladan
bagi masyarakat. Begitu juga dengan Bundo kandung terhadap Dang Tuanku
dan Cindua Mato agar menjadi raja yang adil dan bijaksana bila berkuasa.
Untuk para wanita selalu memberikan pengajaran yang terbaik kepada
setiap anaknya demi mewujudkan harapan yang diinginkannya.
Wanita
dalam kaba secara tidak langsung mendapat ketidakadilan dari lelaki.
Ini terlihat pada Cindua Mato, Anggun nan Tungga, dan Malin Deman yang
melakukan poligami. Wanita tidak melakukan hal yang sama seperti yang
dilakukan oleh lelaki. Malah mereka mau tidak bersuami lagi seperti yang
dilakukan Bundo Kandung (CM), Lenggogini (CM), Santan Batapi (ANT), dan
Puti Bungsu (MD). Sebagai ibu, wanita menjalankan sikap keadilan
terhadap anak dan anggota keluarga lainnya sesuai dengan hak dan
kewajiban dalam perannya masing-masing. Misalnya dalam memberikan
pendidikan, seorang ibu berlaku adil terhadap semua anak atau dianggap
anak. Ini terlihat pada Bundo Kandung yang mengajari Dang Tuanku, Cindua
Mato dan pegawai istana lainnya bukan anaknya, meskipun Cindua Mato dan
pegawai istana lainnya bukan anaknya.
Ada lima hal yang dikemukakan adat istiadat Minangkabau tentang wanita yaitu (1) Limpapeh rumah nan gadang berarti wanita sebagai kekuatan dalam suatu keluarga, karena limpapeh artinya tiang tengah dalam sebuah bangunan; (2) umbun puruak pegangan kunci dimaksud bahwa wanita adalah pemegang basil ekonomi; (3) pusek jalo kumpulan tali yaitu pengatur rumah tangga dan merupakan sumber yang sangat menentukan baik dan jeleknya anggota keluarga; (4) sumarak dalam nagari, hiasan dalam kampuang maksudnya wanita merupakan kesemarakan negeri dan perhiasan kampung; (5) nan gadang basah batuah berarti lambang kebanggaan dan kemuliaan.
Bila
dilihat dari konsepsi adat Minangkabau di atas maka wanita dalam kaba
jelas mencerminkan kehidupan, apa yang telah ditetapkan adat Minangkabau
tersebut. Sebagai kekuaran dalam keluarga, wanita telah berusaha untuk
memberikan yang terbaik dalam keluarganya seperti mendidik anak, sebagai
pendamping suami, mengatur rumah tangga, sebagai saudara (kakak dan
adik) dan anggota keluarga lainnya. Oleh karena wanita memegang hasil
ekonomi, maka wanita Minangkabau secara materi tidak berkekurangan,
sehingga bila ditinggalkan oleh suaminya mereka dapat hidup dengan baik,
seperti'Btmdo Kandung, Lenggogini, Puti Reno Bulan, Puti Ranik Jintan
(CM), Ganto Pomai, Ameh manah, Galinggang Layua, Andami Sutan (ANT),
Puti Bungsu dan Sa,ntan Batapi (MD). Bila mereka tidak mempunyai materi,
mereka dapat saja melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan
kewanitaannya seperti menjadi pembantu rumah tangga, petani, petemak,
dukun beranak, penjual bunga, dan lain sebagainya, seperti Kambang
Bandahari (CM), Ameh Manah (ANT), Mandeh Rubiah Randa Kaya dan Mande
Rubiah Pakan Bunga (MD). Sebagai pengatur rumah tangga dan merupakan
sumber yang sangat menentukan baik dan jeleknya anggota telah dilakukan
oleh wanita seperti Bundo Kandung (CM), Ameh Manah dan Galinggang Layua
(ANT). Sebagai semarak negeri dan hiasan kampung dapat dilihat pada
Lenggogini, Puti Bungsu dan Puti Reno Bulan (CM), Gondoriah dan Santan
Batapi (ANT). Sebagai lambang kebanggaan dan kemuliaan dapat dilihat
pada Bundo Kandung (CM), Suto Sori dan Ameh Manah (ANT).
Kepribadian
seseorang dan masyarakat menurut adat didasari oleh budi dan malu.
Untuk itu wanita dalam kaba selalu menjaga budi dan malu tersebut secara
baik. Hal ini dapat dilihat pada kemarahan Bundo kandung yang malu
karena Cindua Mato telah melarikan Puti Bungsu; kemarahan Bundo kandung
terhadap adiknya Rajo Mudo karena malu dengan masyarakat akan hubungan
Dang Tuanku dengan Puti Bungsu yang diputus oleh Rajo Mudo; Puti Ranik
Jintan menasehatinya kakaknya karena malu kepada masyarakat akan
penghinaan terhadap kakaknya Rajo Imbang Jayo yangtidak jadi kawin
dengan Puti Bungsu; Suto Sod marah-marah kepada Anggun nan Tungga dan
Bujang Salamat karena membawa malu pulang; Suto Sori mengizinkan Anggun
nan Tungga mencari para pamannya karena malu atas fitnahan yang
diedarkan Nan Kodo Rajo; Gondoriah tan ke gunung ledang karena malu
menerima kembali Anggun nan Tungga yang sudah kawin; Puti Bungsu kembali
ke langit karena dipermalukan oleh mertua dan saudara-saudaranya; Puti
Tangah memarahi Puti Bungsu yang tidak mau melihat Medan Khiali sakit
karena malu dengan Mande Rubiah Pakan Bunga yang akan menjadi calon
mertua adiknya.
Kesimpulan
Berdasarkan pendeskripsian penelitian profil wanita dalam kaba dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Wanita dalam kaba berperan hanya dalam keluarga yakni sebagai istri, ibu, anak, saudara (kakak dan adik), dan nenek. Di luar lingkungan keluarga wanita kurang berperan seperti laki-laki. Kecuali Bundo Kandung yang menjadi raja Pagaruyung.
- Wanita dalam keluarga terpusat perannya sebagai ibu, yakni seorang yang mendominasi kepentingan anak-anaknya. Sebagai ibu wanita bertindak sebagai motivator, pendidik, dan sekaligus hakim bagi anak-anaknya. Dalam hat prioritas anak, wanita akan menempatkan anak laki-laki sebagai perpanjangan tangannya terhadap lingkungan luar keluarga, sedangkan anak wanita sebagai perpanjangan tangan dan pewaris kepentingan dalam keluarga.
- Secara formal wanita tidak banyak muncul dalam masyarakat yang lebih luas, namun pengaruhnya tetap besar karena kepentingan dan kemauannya terdelegasikan melalui anak laki-lakinya.
- Profit wanita dalam kaba adalah wanita-wanita yang berpandangan hidup ideal, penuh tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya, penuh nilai cinta kasih yang luhur tanpa pamrih serta luas dalam menetapkan harapan. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan batin. Menyukai keindahan dan penuh keadilan, meskipun mereka kurang diperlakukan adil oleh laki-laki.
- Profil wanita dalam kaba berhubungan erat dengan kepribadian individual anggota masyarakat menurut sistem sosial masyarakat Minangkabau. Bahkan wanita dalam kaba merupakan pengukuhan kepribadian anggota masyarakat Minangkabau.
Catatan Akhir:
Artikel
ini disusun berdasarkan hasil penelitian untuk penulisan tesis S2
(1998) Program Studi Ilmu Sastra, Program Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada.
Daftar Pustaka:
Armini, 1996. "Citra Wanita Pekerja dalam Empat Novel". Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Asri, Jasnur, 1996. Orientasi Nilai Budaya Tokoh Wanita dalam Novel Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Baried,
Baroroh, 1984. "Citra Wanita dalam Kebudayaan Indonesia". Makalah
Seminar Nasional Wanita Indonesia: Fakta dan Citra, Jakarta 23 - 25
Agustus.
Chamamah-Soeratno, Siti, 1994. Sastra dalam Wawasan Pragmatic Tinjauan alas Asas Relevansi di dalam Pembangunan Bangsa. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tanggal 24 Januari.
Damono, Sapardi Djoko, 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Jassin, H.B., 1984. Sastra Indonesia sebagai Wargo Sastra Dunia. Jakarta. Gramedia.
Junus, Umar, 1984a. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problem Sosiologi Sastra. Jakarta: Gramedia.
_______ , 1984 Sastra Melayu Madan : Fakta dan Interpretasi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Mahkota, Ambas, 1982. Anggun nan Tungga. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Navis, A. A., 1986. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Graffitipers.
Nurizzati, 1994. "Kaba Malin Deman Sebuah Kajian Filologis". Tesis S-2 Universitas Padjadjaran Bandung.
Penghulu, Idrus Hakimy Dt. Rajo, 1994. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Ada: Minangkabau. Bandung. Ramaja Rosdakarya.
Ridjal, Fauzi, 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Sartain, A. Q., 1958. Psychology: Understanding Human Behaviour. McGraw-Hill Book Company, Inc.
Susanto, Astrid, 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Bina Cipta.
Udin,
Syamsuddin, 1982. "Kaba Minangkabau Karya Syamsuddin Sutan Rajo Endah:
Tinjauan dari Sudut Sosial Budaya". Padang: Penelitian untuk Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jakarta.
Walgito, Bimo, 1993. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar