Kamis, 21 Mei 2015

Puisi


PEREMPUAN
Hermawan

Senyummu yang menarik itu ketika aku berada di atas
di balik senyummu ada rasa kepedihan, kesakitan, kesenangan, kesengsaraan, kemelaratan, perjuangan, penderitaan, keyakinan, harapan, obsesi dan  berjuta-juta lagi yang namanya kenikmatan  dan ketaknikmatan

Dan ketika aku berada di atas engkau bahagia,
engkau malah meminta agar lebih diatas lagi
dan tidak pernah meminta sesekali di bawah,
di samping kiri atau kanan, meskipun kau menderita, namun penderitaan yang penuh kenikmatan, yang penuh penderitaan

Kau ajari anak-anakmu untuk meneladani aku,
kau tunjukkan anak-anakmu jalan-jalan seperti yang aku tempuh,
kau beri petuah-petuah yang baik
dengan harapan anakmu akan baik,
setidaknya menyamai aku, jangankan melebihiku

Aku kembali merenung bila mengingat kau, meskipun aku punya kepercayaan terhadap Kau
Dari merenung, aku ke kaca, melihat wajahku yang jelek dan meremas untuk
mencopot dari landasannya

Tapi wajahku yang lain lagi muncul
rupanya aku punya banyak topeng yang sedang memainkan sebuah lakon seperti wayang orang,
aku bisa berperan apa saja dengan wajah apa pun
Setelah puas dan bosan, aku mencopot wajahku,
aku ingin bertemu dengan wajah yang Kau berikan,
tapi itu tak bertemu, berkali-kali kucoba, berkali-kali pula gagal
Dibalik kegagalan ada ketidakgagalan dan di balik ketidakgagalan ada kegagalan.
Aku berpikir sebaiknya jangan  di balik
Buang kata balik itu teriak batinku
aku membatin dan kembali merenung,
ku coba melukiskan kata, ku ambil pena dan kertas,
di atasmu aku menulis, kugoreskan penaku, kau tersenyum, tapi dibalik senyum
muncul lagi semuanya
Penaku telah meneteskan tinta-tinta dari inspirasiku yang datang dari-Mu
kau tersenyum, senyum perempuan.
 Yogyakarta, 13194
 PEREMPUAN II
 Hermawan

Malam ini aku teringatmu sayang
ku coba merenung dengan konsentrasi terhadapmu
aku jadi ingat semua
kau dan lingkungan
kau dan anak
kau dan famili
Kau dan alam
Allahu akbar

Bila semua kau, kau, kau ku ingat
maka satu kau hilang
kau yang lain muncul
terakhir kau tatapan
kemapanan
Allahu akbar

Semua sahabat kau
aku anggap kau
semua senyum kau
aku anggap kau
karena kau tak di sampingku
muncul kau yang lain
akhirnya aku berserah kepada Kau

Ku mulai dengan Kau
aku bisa lupa tak ingat kau
sahabat kau
senyum kau
kau dan lingkungan
kau dan anak
kau yang aku anggap kau
kau ku kah itu
atau kau dan kau yang lain
 Yogyakarta, 131194
 JAKARTA
 Hermawan

Jalan-jalan di Jakarta
berlampu suluh
menapik sebuah wajah,
menapik sebuah wajah
murung mengkais-kais
nasi goreng untuk besok,
nasi goreng, untuk besok
Pohon itu layu sebelum mendapat angin
aku hidup setelah itu lagi.

Hari ini kepala ku hilang
 ia pulang
  tak berkepala akan
   lagi ada
    orang menyapa
     melemparkan rokok
      dewa tidak...
       dewa... tidak
        lacur...mungkin

Diskusi diteruskan lagi
besok...besok alunan itu ke itu
itu hilang dan itu tumbuh
tapi ia tetap hidup

Jakarta, 141284
 AIDIL
Hermawan

Tangisan boneka
mengingatkan aku akan ibumu
kau masih kecil
ketika ibumu sedang buntil

Dan kau belum ada saat ini
sedangkan aku merindukan
aku dan ibumu juga

Sekarang kau ada
aku dan ibumu ada
kita mau apa
di dunia
nestapa
 Padang, 22186

 PATUNG
 Hermawan

Di depan teater terbuka
ada tiga patung
yang satu buntung
datang suara mendengung

            wahai ayah
            apa itu puisi
            tidak tahu isi

bunyi cecak membuat patung bergerak
temanku jadi gelak
tidak tahu apa itu bapak

Sebuah vespa meluncur
tidak tahu di mana lacur
lalu teman bertutur
hari esok akan kabur

seorang mahasiswa berkata
ayah menasehati dia
kalau pulang malam sia-sia
apa boleh buat itu susunan acara
  Jakarta, 121284
 DOA
 Hermawan

Tuhan
Berikanlah sinar matahari-Mu
sebelum daun kering
dan zat hijau
sebelum mataku silau

Aku tetap berdoa
meskipun usaha tetap gaga
sekarang aku lega
kalau Engkau mau tertawa

Musim kering melanda negara
rakyat semua binasa
sekali lagi, aku hanya bedo'a
walaupun usaha gagal

Tuhan
Berikanlah sinar mataharimu
sebelum daun kering
 Padang, 22186
 BAYANG-BAYANG
Buat Supardi Djoko Damono
 Hermawan

Bila matahari berada di Barat
bayang-bayang setinggi aku
dan ia mengikuti aku ketika aku bersujud menghadap-Nya
Bayang tertawa di belakangku sambil berkata: "Sudah sempurnakah sujud kau ?"
Aku menjawab: "Kau sujud untuk siapa ?"
bayang-bayang tertawa sambil sujud dan
aku sujud sambil tertawa
 Jakarta - Yogyakarta, 101993
 HANG TUAH
 Hermawan

Kau dibedah dan dimaki-maki
Kau dibedah dan disanjung-sanjung
Kau hidup kembali
Kau dibedah disanjung dan dimaki
Kau hidup kembali
kenapa kau mau lagi dibedah
Kau hidup dimaki
Kau hidup disanjung
Kau hidup dibedah
Kau kini hidup lagi berupa hantu dan tuhan
 Yogyakarta, 101993

 SEPI  I
 Hermawan

Sepi seper
tiada hilang
Sepi seper
tiarap di medan ilalang
Sepi seper
tikas yang gersang
Sepi seper
timbre sumbang
Sepi seper
timu tak berudang

Sepi seper
tigari kematian
Sepi seper
tika dibiarkan
Sepi seper
tikpi tak bersasaran
Sepi seper
tilgram kematian
Sepi seper
timbul berawan
 Yogyakarta, 141294
 SEPI    II
Hermawan

Sepi seper
tijak malam hari
Sepi seper
timang tak berbayi
Sepi seper
timpuh semedi
Sepi seper
tin disemuti
Sepi seper
tingkalak tak berisi
Sepi seper
tiga raga rasi
Sepi seper
tikar terbengkalai
Sepi seper
tiku tepi ngarai
Sepi seper
tile tak bermempelai
Sepi seper
tilik tak sampai
Sepi seper
timbuk lepai
Sepi seper
tindak lunglai
Sepi seper
tingkat tak berlantai
Sepi seper
titian tak bersungai
                        Yogyakarta, 101294

Tulisan Koran


Perkembangan Cerpen Sumatera Barat dalam Dua Dasawarsa: Satu Tinjauan Awal

Perkembangan Cerpen Sumatera Barat dalam Dua Dasawarsa: Satu Tinjauan Awal
Oleh Hermawan
             Pembicaraan perkembangan cerpenis Sumatera barat adalah dalam rentang waktu 1970-an hingga 1990-an. Perkembangan pengerang cerpen di Sumatera Barat saat ini sangat menggembirakan terutama melalui media massa (baca: surat kabar). Hal ini setidak-tidaknya tampak dengan semakin bertambahnya jumlah cerpenis muda, baik secara umur maupun secara kreativitas. Kreativitas cerpenis Sumatera Barat ini dimulai semenjak adanya ruangan cerpen dan budaya pada surat kabar harian yang ada di Sumatera Barat. Surat kabar tersebut adalah Haluan, Singgalang, dan Semangat. Kesemua surat kabar itu adalah harian, sedangkan ruangan cerpen ada pada hari Minggu. Kemudian sekitar tahun 1980-an adalagi surat kabar Mingguan Canang yang juga menyediakan ruangan cerpen. Sebelumnya cerpenis Sumatera Barat belum begitu bergairah menulis cerpen. Mereka hanya membentuk kelompok-kelompok penulis dan mendiskusikan tentang kreativitas mereka pada Pusat Kesenian Padang (PKP) saat ini bernama Taman Budaya Sumatera Barat. Dari PKP tersebut lahirlah kelompok-kelompok penulis kreatif. Kelompok-kelompok penulis kreatif tersebut mengembangkan kreativitasnya melalui surat kabar Haluan dengan rubrik “Remaja Minggu Ini”, surat kabar Singgalang dengan rubrik “Teraju”, dan surat kabar Semangat dengan ruangan “Seni Budaya”. Dari ketiga surat kabar dengan ruangan budaya atau cerpen itu telah banyak nama-nama cerpenis yang lahir seperti Chairul Harun, Rusli Marzuki Saria, Darman Moenir, Harris Effendi Thahar, Alwi Karmena, Wisran Hadi, Asneli Luthan, Makmur Hendrik, Abrar Yusra, Leon Agusta (Ridwan Ilyas), Syarifuddin Arifin, Sofia Trisni, Indra Nara Persada, Wandra Ilyas, Arius Bustamam, Ismet Fanany, Albusyra Basnur, Emeraldi Chatra, Aryanto Thaib, Armansyah Nizar, Dermawan Ilyas, Dasril Ahmad, Adek Alwi, Ray Fernandez, Abrar Khairul Ikhirma, Inriani, Nita Indrawati Arfin, Free Hearty, Sastri Bakry, Yusril, Irmansyah, Rini F, Jamrah, Luzi Diamanda, Ysurizal KW, Gus Tf Sakai, Iyut Fitra, Sigit A. Yazid, Wannofri Samry, Afrimen dan beberapa nama lainnya.
            Nama-nama tersebut di atas tidak beberapa orang saja lagi yang masih eksis saat ini atau berkarya sampai sekarang dalam bentuk cerpen. Hal ini disebabkan beberapa hal yaitu, mereka merasa puas dengan terbitan daerah saja; memilih profesi lain karena dari segi ekonomi mereka kurang mendapat kehidupan yang agak lebih, malah kurang; berkarya pada tingkat nasional atau luar daerah Sumatera Barat; tidak dapat memenuhi selera dari redaktur surat kabar. Dalam lima tahun belakang ini sudah ada usaha Dewan Kesenian Sumatera Barat untuk menggairahkan penulis-penulis Sumatera Barat melalui bengkel penulisan yaitu di INS Kayutanam yang dikelola A. A. Navis.
            Pada sisi lain peranan kritikus sastra dan peneliti sastra semakin kurang eksis di Sumatera Barat. Hal ini ironis kalau dibandinngkan dengan lulusan Fakultas sastra yang semakin banyak. Bagi peneliti di kampus sudah mulai enggan menulis kritik di surat kabar karena honorarium sedikit sehingga mereka cenderung mencari proyek penelitian atau pemenuhan tugas sebagai staf pengajar.
            Sekarang cerpenis Sumatera Barat mulai berkiprah di tingkat nasional melalui surat kabar ibu kota seperti Kompas, Republika, Pelita, Suara Karya, Merdeka, majalah-majalah wanita, dan majalah sastra. Suatu hal yang menggembirakan karena Kompas adalah surat kabar yang terkemuka di republik tercinta ini. Cerpen-cerpen yang terbit di Kompas tersebut kemudian dipilih lagi untuk diterbitkan dalam kum;pulan cerpen terpilih Kompas. Sudah ada enam kumpulan terpilih Kompas semenjak tahun 1992 sampai 1997. Cerpenis Sumatera Barat yang paling sering (malah satu kali absen) terpilih cerpennya adalah Harris Effendi Thahar yaitu lima buah cerpen, A. A. Navis yaitu tiga cerpen masuk dalam kumpulan cerpen terpilih Kompas.
            Selain memublikasikan cerpen melalui surat kabar ada juga yang dipublikasikan dengan mener itkan kumpulan baik secara nasional dalam bentuk standar maupun secara lokal dalam bentuk stensilan dan foto copy. Kumpulan cerpen tersebut adalah Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis (1966) penerbit NV Bukittinggi dan Bianglala (1990) penerbit Pustakakarya Grafitama Jakarta; Bermula dari Debu karya Syarifuddin Arifin (1982) diperbanyak Taman Budaya Sumatera Barat Padang, Gamang (1989) karya Syarifudin Arifin juga diperbanyak Taman Budaya Sumatera Barat Padang, Selusin Cerpen (1986) karya Syarifuddin Arifin diperbanyak oleh HIMA Sastra Indonesia Universitas Bung Hatta Padang; Debu karya Dasril Ahmad (1986) diperbanyak oleh HIMA Sastra Indonesia Universitas Bung Hatta Padang, Topeng karya Asneli Luthan (1983) diterbitkan Balai Pustaka Jakarta; Perempuan dalam Perempuan (1995) karya Free Hearty, Nita indrawati Arifin, Inriani, Sastri Yunizar Bakry, dan Ivone de Fretes penerbit Forum Studi Wanita Tamening Padang; Jelaga Pusaka Tinggi (1997) karya Darman Moenir penerbit Angkasa Bandung. Kurangnya penerbitan cerpen dalam bentuk buku ini juga menyebabkan para cerpenis memilih berkarya melalui surat kabar.
             Bila diamati beberapa dari cerpenis di atas mengambil cerita yang berasal dari kehidupan sehari-hari atau bertolak dari realita. Ini jelas melihatkan akar budaya seni Minangkabau yaitu kaba. Cerita-cerita tersebut diolah dengan teknis dan bentuk yang beragam. Ini juga diakui A. A. Navis (Haluan, Senin, 14 Mei 1990) bahwa kreativitas sastrawan muda menulis hal-hal yang dekat dengan dirinya atau dengan lingkungannya.
            Kesemua cerpen-cerpen yang ditulis oleh cerpenis Sumatera Barat, ada beberapa bentuk yang menjadi perbedaan antara satu cerpen dengan cerpen lainnya. Bentuk-bentuk itu adalah bertolak dari realitas dan mitos atau peniadaan mitos dan gaya penulisan mitos yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang diyakini dan telah berakar kuat dalam masyarakat sehingga berpengaruh terhadap perilaku masyarakat tersebut (Hasanuddin WS, 1998). Gaya penulisan itu adalah cara pengarang memapar cerita seperti penggunaan alur secara konvesional, penggunaan gaya bahasa, dan teknik penyampaian reportase.
            Untuk melihat perbedaan tersebut di atas akan diambil contoh cerpen-cerpen yang dikarang oleh A. A. Navis dengan cerpen Datang dan Perginya dalam kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1966), Jodoh (mendapat hadiah Kincir Emas dari Radio Nederland Belanda tahun 1975), dan Malin Kundang, Ibunya Durhaka (dalam kumpulan cerpen Bianglala, 1990). Harris Effendi Tahar dengan cerpennya Kartino 2082 (Singgalang, 1983), Dari Paris (dalam Lampor kumpulan cerpen pilhan Kompas, 1994). Asneli Luthan dengan cerpennya Topeng, Penjara, dan Hantu (dalam kumpulan cerpen Topeng, 1983). Dasril Ahmad dengan cerpennya Debu, Pistol, Duri, dan Sampah (dalam kumpulan cerpen Debu, 1986). Darman Moenir dengan cerpennya Cuaca Mulai Berubah, dan Panorama Yang Lain (dalam kumpulan cerpen Jelaga Pusak Tinggi), dan Syarifuudin Arifin dengan cerpennya Gamang dan Hamil (dalam kumpulan cerpen Gamang, 1989).
            Keragaman bentuk dari cerpen-cerpen yang ditulis oleh cerpenis Sumatera Barat ini telah memperkaya khazanah sastra umumnya dan daerah khususnya. Diantara keragaman cerpen-cerpen tersebut ada tiga bentuk yang lain dari cerpen-cerpen yang dihasilkan ileh cerpenis Sumatera Barat. Hal ini terlihat pada A. A. Navis dan Harris Effendi Thahar dengan teknik pemutarbalikan/penghilangan mitos, flash back dan bahasa sindiran. Asneli Luthan dan Dasril Ahmad dengan bentuk absurd. Darman Moenir dan Syarifuddin Arifin dengan gaya reportase. Ini bukan berarti cerpenis yang adalah epigon dari tiga bentuk di atas.
            Keunikan cerpen A. A. Navis sebagaimana dikemukakan di atas adalah pemutarbalikan mitos dengan gaya flash Back dan bahasa sindiran. Ini jelas terlihat lewat cerpennya yang terkenal yaitu Robohnya Surau Kami, Yang Datang dan Yang Pergi, Jodoh, dan Malin Kundang, Ibunya Durhaka. Pada cerpen Robohnya Surau Kami telah meniadakan mitos yang ada saat ini. Mitos tersebut adalah bahwa seseorang yang dapat masuk sorga bila rajin beribadah terhadap Tuhan, walaupun tanpa memikirkan kehiduypan dunia. Dalam cerpen Yang Datang dan Yang Pergi juga peniadaan mitos pada masyarakat bahwa beristri banyak itu sangat diidamkan bagi semua pria, walaupun akan terjadi perkawinan anak dengan anak karena sudah tidak bisa lagi mengontrol keturunan dari banyak istri. Cerpen Jodoh meniadakan mitos peran mamak atau keluarga dalam menentukan jodoh. A. A. Navis memunculkan mitos baru bahwa perkawinan dan jodoh itu dapat ditentukan lewat kontak jodoh pada surat kabar. Pemutarbalikan mitos lainnya adalah pada cerpen Malin Kundang, Ibunya Durhaka. Di dalam cerpen ini telah dibuat mitos baru bahwa selama ini pendurhaka itu adalah Malin Kundang diganti oleh ibunya.
            Alur penceritaan flash back dengan gaya bahasa sindiran atau ironis. Perhatikan pembukaan cerpen berikut;
Bila jumlah wanita lebih banyak dari pria pada zaman lapangan kerja menyempit hingga pengangguran berlimpahan, tidak sulit memperoleh seorang gadis untuk dijadikan istri. Sebab masyarakat masih memandang mereka sebagai oknum yang menggelisahkan keluarga. Seolah perawan tua merupakan cacat hidup yang mengandung dosa keluarga … (Cerita Pendek Indonesia 1, Satyagraha Hoerip (ed.), 1986: 183).
 dan penutupan cerpen
             Badri merangkul istrinya sambil tertawa.
Mereka sudah lama nikah dan kini telah punya dua orang bayi yang demikian rapat jarak kelahirannya … (Cerita Pendek Indonesia 1, Satyagraha Hoerip (ed.), 1986: 188).
Malin Kundang telah melambung namanya setelah banyak sastrawan ikut mendongengkan menurut keperluan dan imajinasinya masing-masing. Dari tokoh dongeng anak-anak telah menjelma menjadi tokoh yang dimitoskan orang dewasa (Bianglala, 1990: 115)
Malin Kudang meradang. Lalu berteriak hingga bumi bergerak, - Engkau perempuan laknat. Kalau benar kau ibuku, aku kutuk diriku agar menjadi baru. Biar semua orang tahu, Malin Kundang lahir dari perut yang keliru (Bianglala, 1990: 120)
             Harris Effendi Thahar hampir mirip namun bahasa sindirannya tidak setajam A. A. A. Navis. Ini terlihat pada cerpen Kartino 2082 (Singgalang) yang memutarbalikan kebiasaan wanita sebagai ibu rumah tangga digantikan oleh sang suami, dan cerpen Dari Paris (Kompas, 1993) meniadakan angan-angan seorang Bapak yang sudah pensiun.
            Keunikan Asneli Luthan adalah dan pembukaan cerpennya selalu dengan kejutan. Ini terlihat pada pembukaan dan penutupan cerpen Calon Suami (kumpulan cerpen Topeng). Pembukaan;
Saya benar-benar bigung. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Mereka keterlaluan! Apa mereka pikir saya ini Kerbau atau Sapi. Diseret ke lapangan, diadu, diperah, dijual? Begitu? (Asneli Luthan, 1983:9).
 Penutupan;
             Saudara sayang sekali. Semua ini tak pernah terjadi (Asneli Luthan, 1983: 13).
Pada cerpen Topeng dibuka sebagai berikut;
Tepat ketika dia masuk ke arena, permainan baru dimulai. Tapi serentak dengan itu, para pemain lainnya – yang entah berapa jumlahnya itu tidak jadi memulai (Asneli Luthan, 1983: 43).
Ditutup;
Sampai cerita ini ditulis, perempuan itu masih berteriak tiak hanya ke sana ke mari, tapi ke seantero dunia. Entahlah, sekali-sekali dia mendengar sayup-sayup – entah di mana, orang menjawabnya, kemudian hilang lagi.***
Catatan: perempuan dalam cerpen ini  isa juga dibaca sebagai laki-laki ataupun banci (Asneli Luthan, 1983: 52).
Kata-kata yang bermakna ganda ditemui dalam cerpen Penjara seperti kutipan berikut;
“Sebenarnya saudarasaudara tidak pantas memberikan reaksi seperti itu. Saudara-saudara tahu, saya lepas dari penjara itu bukan dengan muah an gampang. Bukan dengan cara begitu saja. Saya telah melalui ujian san cobaan-cobaan yang sangat berat. Untuk akhirnya saya putuskan keluar dari penjara itu. Itulah …”
Si Filsuf tiba-tiba angkat tangan dan langsung bicara.
“Saudara-adalah seorang yang dangkal dan kosong. Buktinya saudara sendiri tidak tahu bahwa ujian dan cobaan-cobaan itu sendiri adalah penjara. Ah, lebih baik saya tidak bicara dengan orang yang berotak udang,” katanya duduk kembali dengan wajah merah. (Asneli Luthan, 1983: 65).
Atau pada cerpen Hantu;
             Di luar kami duduk berkelompok. Kami berbincang lagi tentang hantu.
“Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja kulihat pak guru seperti hantu,” kata seorang teman.
“Kalau aku, kulihat hantu itu mengejar lewat otak, mulut dan perutnya,” sela Hasan terkekeh.
Dengan begitu, cerita hantu kami pun makin seru. Ditambah bumbu sana-sini, hantu itu makin seram (Asneli Luthan, 1983: 76).
             Keunikan Dasril Ahmad kelihatan pada pengungkapan ceritanya dengan kata-kata yang bermakna ganda (ambigu), suasana memikat, puitis dan satire. Terkadang lepas dari jangkauan logika. Penuh oerenungan dan sarat dengan makna dari setiap kata-katanya. Pemaparan cerita tidak konvesional tetapi kadang-kadang meloncat ke alam metafisika yang tidak terduga dari awal-awal ceritanya. Ini terlihat pada cerpen Pistol, Smpah, Debu, dan Duri. Pada awalnya cerpen ini mengangkat kata pistol, sampah, debu, dan duri sebagai benda, namun di tengah atau akhir cerita pembaca dibawa ke pikiran yang lain dari makna semula itu. Benda yang ada dalam pikiran pembaca tiba-tiba berubah maksud seperti;
 Kini saya merasakan suatu perasaan aneh di ruangan itu. Karena mata saya liar menyapu segenap penjuru ruangan itu, kembali kesan semula saya peroleh yaitu debu-debu yang bertumpuk-tumpuk di sana-sini. Anehnya lagi, mata hati saya yang jeli sempat melihat debu-debu itu telah menembus kulit, tulang, daging, dan kemudian masuk ek otak kepala sekolah itu. Ketika saya melihat debu-debu itu siap pula menyerang saya, maka cepat-cepat saya tinggalkan ruangan itu (Dasril Ahmad, 1986: 29-30).
             Keunikan Darman Moenir dan Syarifuddin Arifin terlihat dalam cerpen Mulai Berubah dan Panorama yang lain (dalam kumpulan cerpen Jelaga Pusaka TinggI), merupakan cerpen yanmg bertemakan potret-potret kehidupan dah ditulis dengan teknik reportase. Kedua cerpen ini mencerita kehidupan keseharian bertetangga dan kehidupan bawahan dan atasan. Cerpen Cuaca Mulai Berubah mencerita tentang seorang pegawai rendahan yang tinggal di perumahan murah dan bertetangga dengan seorang pegawai pos. Konflik terjadi saat salah seorang memperbesar bangunan rumahnya sehingga timbul sengketa tentang perbatasan. Sedangkan, cerpen Panorama Yang Lain mencerita kejujuran seorang wali negeri yang ditipu oleh atasannya (camat atau bupati) terhadap uang bantuan untuk pembangunan desa sehingga tidak cukup lagi sampai ke tangannya untuk kelangsungan pembangunan desa. Begitu juga dengan cerpen Syarifuddin Arifin yang berjudul Hamil dan Gamang (dalam kumpulan cerpen Gamang).
             Perkembangan cerpen Sumatera Barat, sebagaimana yang disebutkan di atas adalah dari penulisan di surat kabar. Kemudian penerbitan sendiri dan penerbit lain. Kreativitas cerpenis Sumatera Barat baru berkembang di daerah dan hanya beberapa orang saja yang sampai ke tingkat nasional. Perkembangan cerpen Sumatera Barat ini kurang ditanggapi oleh kritikus dan pengamat sastra Sumatera Barat.
            Perkembangan tema-tema sesuai dengan keadaan kehidupan sosial yang ada datau bertolak dari realita. Bentuk penulisan cerpen-cerpen Sumatera Barat secara umum perkembangannya secara konvensional kemudian diikuti dengan perkembangan teknik penulisan seperti flash back, reportase, dan penggunaan bahas majas dan absurd.
            Perkembangan publikasi tetap saja pada surat kabar dan majalah serta masih dirasakan kurang penerbitan dalam bentuk buku. Pada saat ini cerpenis Sumatera Barat banyak yang memublikasikan cerpennya lewat surat kabar nasional.
            Akhirnya cerpen-cerpen yang dibicarakan ini tentulah belum menjadi barometer yang mutlak, sebab penelitian yang lengkap belum dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Selanjutnya tentu perlu penelitian yang lengkap. Terima kasih.

Tulisan Koran









TENTANG SASTRA

TENTANG SASTRA
Oleh: Drs. Hermawan, M. Hum.
             Sungguh suatu kebahagiaan ketika saya mendapatkan undangan panitia seabad dan haul Soeman Hs. Saya ditunjuk sebagai pembicara. Sekitar bulan Oktober 2003 saya pernah mengirim SMS kepada Saudara Dasri Al Mubary untuk memberitahukan bahwa tahun 2004 adalah seabad Soeman Hs. Saya berharap Dasri dan kawan-kawan mengadakan acara karena Soeman Hs. salah seorang pemuka masyarakat Riau yang perlu dihormati. Apalagi dalam dunia kesusasteraan Soeman Hs. termasuk perintis dan Bapak cerpen Indonesia.
            Ketika saya baca surat dari panitia seabad dan haul Soeman Hs. saya sangat bahagia.  Dengan tema yang sangat menarik yaitu “Dengan Haul Soeman Hs. Mari Tingkatkan Kualitas Pendidikan dan Kreatifitas Anak Bangsa Menuju Visi Misi Riau 2020”.,  kegiatan memperingati haul Suman Hs. jadi juga terangkat. Saya menjadi bertambah  bahagia. Kebahagiaan bertambah lagi dengan disejajarkannya saya tampil sebagai pemakalah dengan orang penting dan dipentingkan di Riau. Lebih lengkap lagi kebahagiaan itu adalah tampilnya saya dari luar Riau. Terima kasih untuk semua ini kepada panitia dan hadirin saat ini.
            Berbicara tentang sastra memang amat menarik karena sastra merupakan suatu dunia yang di dalamnya ada kehidupan. Banyak hal yang dapat dibicarakan
melalui sastra. Dalam sebuah karya sastra kita dapat melihat berbagai dunia dan ilmu pengetahuan, sedangkan dalam berbagai ilmu pengetahuan kita belum dapat melihat sastra. Inilah menariknya.
            Sebuah karya sastra yang baik dan menjadi monumental akan selalu dapat dibicarakan, dikaji dan diteliti tanpa usang. Membaca sebuah karya sastra hari ini akan beda dengan membaca sebuah karya sastra yang sama esok harinya, sehingga Hang Tuah, Romeo dan Juliet, Siti Nurbaya dan lain-lain tidak bosan dan habisnya orang bicarakan. Setiap kali dibaca sebuah karya sastra akan ada saja hal baru yang muncul, begitulah seterusnya.
Bagi kita pengumpul dan pecinta buku akan menjadi kaya seumur hidup baik secara isi dari karya tersebut maupun secara koleksi, sebab mengoleksi buku sastra berarti mengoleksi kebudayaan atau bahasa yang tak pernah habis.
            Apa benarkan sastra itu?
            Sangat banyak defenisi tentang sastra dari berbagai pendapat. Kalau ditulis mungkin akan menghabiskan kata-kata. Masing-masing kita juga punya defnisi sendiri, tergantung dari mana kita mendefenisikan karya tersebut. Saya mencoba mendefenisikan karya sastra ini adalah suatu yang punya tokoh atau rekaan. Selain dari itu berarti bukan sastra karena beda karya sastra dengan yang lainnya adalah tokoh atau rekaan itu.
            Bagi pengarang sastra merupakan tempat “berlindung” karena pengarang bisa bicara apa saja dan bila dituntut mereka berdalih itu sastra. Walaupun seorang sastrawan menulis sebuah peristiwa faktual yang benar-benar terjadi dalam masyarakat, orang akan tetap membacanya sebagai sebuah karya fiktif. Sekiranya kita berandai-andai, bahwa Soeman Hs. hidup masa sekarang dan menyaksikan peristiwa konflik antara Bupati Kampar dengan  para guru yang terjadi baru-baru ini lalu dia menulis peristiwa itu sedemikian dramatis dan tragis  dalam sebuah cerpen orang tidak akan dapat menuntut Soeman Hs. Akan tetapi bila seorang wartawan menulis peristiwa tersebut tidak faktual dalam sebuah berita, maka wartawan tadi dapat dituntut karena membuat berita tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Jadi sebuah karya yang berasal dari sumber yang sama akan mempunyai dampak yang berbeda ketika karya itu ditulis dengan niat yang berbeda. Satu diniatkan sebagai karya sastra dan yang lainnya diniat sebagai berita.
            Bangun tidur kita bersastra dengan ungkapan kata-kata: “Aku mimpi menggosok gigi/ketika bangun  gigiku tinggal  dalam mimpi/aku tidur lagi ambil itu gigi/ dalam tidur aku mimpi gigiku menggosok-gosok…” 
            Mau tidur waktu kecil dininabobokan dengan sastra didendangkan dengan pantun-pantun atau cerita-cerita tentang pahlawan dan sebagainya.
            Sastra bahasa yang indah. Sastra tidak menjadi indah bila tanpa bahasa. Bahasa dapat indah tanpa sastra. Yang menentukan indahnya bahasa bukan sastra, tetapi sebaliknya yang menopang keindahan sastra adalah bahasa. Menurut Islam yang pertama ada itu adalah Kalam atau bahasa. Akan tetapi uniknya, di Yunani bahasa digunakan sebagai medium untuk mengungkapkan persoalan-persoalan filsafah secara sastrawi. Baca Homerus misalnya. Homerus adalah karya sastra pertama di dunia yang ditulis oleh Aristoteles. Begitu juga di negeri kita ini, pelajaran-pelajaran moral, pendidikan, hubungan antar manusia diungkapkan secara sastrawi. Baca saja misalnya pantun bidal, mamang atau kaba. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa secara tradisional digunakan secara sastrawi.
            Kesusasteraan adalah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkn peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota masyarakat.  Sangat sulit memang seorang sastrawan menciptakan suatu masyarakat imajinatif dalam sebuah karya sastra tanpa mengindahkan masyarakat objektif yang berada di luar sastra. Dalam sastra konvensional tidak pernah kita temukan kehidupan, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat imajinatif yang bertentang dengan kehidupan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat objektif. Tidak ada suatu kejadian yang terjadi dalam masyarakat imajinatif yang tidak terdapat dalam masyarakat objektif. Kalaupun ada itu disebut absurd. Akan tetapi, dalam sastra absurd pun tidak semua kejadian dalam masyarakat imajinatif yang bertentangan dengan masyarakat objektif, kecuali untuk sebagian kecil kejadian. Baca saja misalnya karya Iwan Simatupang “Merah Merah”.   Dalam novel ini, seorang tokoh jatuh dari gedung tinggi ketika terik panas matahari. Dia jatuh di atas tubuh seorang gadis yang ketika lewat di sana. Di atas aspal jalan yang panas itu dia menimpa tubuh gadis itu dan kemudian langsung bersetubuh. Dia tidak mati dan gadis itu pun tidak mati. Peristiwa itu dalam kehidupan nyata tidak akan pernah terjadi. Ini bertentangan dengan realitas yang sebenarnya. Tetapi dapat dibenarkan dalam realiatas imajinatif. Absurd memang, karena karya itu merupakan karya sastra absurd.
            Secara ringkas dapat dirumus pengertian kesusasteraan sebagai berikut.
-          Seni bahasa (STA)
-          Tafsir hidup, seperti hidup itu tergantung dalam pikiran orang yang menafsirkan (W. H. Hudson)
-          Keindahan yang dilahirkan oleh bahasa ialah bahasa kesenian, bahasa atau seni sastra (Madong Lubis)
-          Penjelmaan Pribadi yang luhur dengan kata/bahasa dalam bentuk yang tepat (A. Samidi)
-          Suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek & Warren)
Perkembangan keadaan sastra sekarang sangat baik, terutama sastra koran. Sastra koran muncul ketika rubrik budaya ditempatkan sebagai salah satu rubrik dalam kolom-kolom surat kabar.  Melalui rubrik itu terbuka peluang yang besar untuk berkembang sastra. Banyak penulis mengisi kolom rubrik itu dengan berbagai karya sastra, apakah itu cerpen, puisi atau kritik sastra. Dengan munculnya rubrik budaya tersebut, perkembangan sastra semakin marak. Banyak bermunculan penulis-penulis baru, pendatang baru dalam dunia sastra. Bahkan diantaranya ada yang mengukuhkan diri sebagai sastrawan, dan mengembangkan dirinya, sehingga dia tidak lagi hanya menulis dikoran akan tetapi telah menerbitkan buku-buku sastra, apakah berbentuk kumpulun puisi, kumpulan cerpen atau sebuah novel. Di sisi lain ada juga yang kemudian lenyap disapu angin, tak berbekas, sehingga orang lupa akan namanya. Dia tidak pernah hidup lagi.
Banyak karya sastra yang diterbitkan dalam bentuk buku, namun distribusinya masih kurang. Penerbit masih mempertimbangkan nilai bisnis ketimbang mempertimbangkan peningkatan apresiasi masyarakat. Oleh karena itu, oplah penerbitan buku sastra relatif kecil karena diragukan akan habis terjual. Akibatnya distribusi penjualan buku-buku sastra hanya terbatas di kota-kota besar dan toko-toko buku tertentu saja. Jikalau kita membutuhkan sebuah  buku sastra kita tidak mendapatinya disembarang tokoh buku. Harus dicari pada toko buku tertentu, seperti Gramedia atau Angkasa kalau di Padang. Di toko-toko kecil kita tidak akan menemukan buku sastra.! Oleh karena itulah apresiasi sastra di masyarakat relatif rendah karena kurangnya karya sastra terdistribusi. Penyebab lain adalah kurangnya apresiasi pengajar sastra (baca Horison Desember 2003).
            Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan apresiasi sastra kepada masyarakat namun hasilnya masih kurang, seperti yang dilakukan SBMM (Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca). Malahan mahasiswa sastra dan pengajar sastra banyak yang tidk membaca karya sastra.
            Soeman Hs. telah memulai bersastra, namun kurang terlanjutkan oleh pengarang berikutnya terutama tentang cerita detektif dan humor. Cerita detektif dan humor hanya kita jumpai dalam bentuk media audiovisual. Tidak adanya penerus Soeman Hs. barangkali disebabkan tidak banyak generasi kita yang meminati masalah detektif dan humor. Menggarap  cerita detektif memerlukan banyak pengetahuan, baik yang berkaitan dengan psikologi, intelejen dan masalah-masalah medis. Artinya, menulis cerita detektif, tidak saja dituntut ketrampilan menulis, menyusun adegan-adegan sehingga menarik untuk dibaca tetapi juga keahlian lain yang berkaitan dengan dunia kejahatan. Hal yang semacam tidak tidak dimiliki oleh generasi kita sekarang.
            Menulis humor ini apalagi. Kita bisa saja menertawakan orang atau diri sendiri, tetapi kita tidak bisa membuat orang tertawa ketika membaca tulisan kita. Kalaupun mungkin, orang mungkin akan tertawa dengan apa yang kita tulis. Karena kita tidak ingin ditertawakan orang, maka generasi kita kurang meminati menulis karya-karya yang dapat menyebabkan orang tertawa. Oleh karena itu, Soeman Hs. tetap sendiri dalam kesendirinya. Marilah kita renungkan makna kesendirian itu sendiri-sendiri, sebaris-sebaris, tanpa kata dan suara.  
            Demikianlah tentang sastra. Terima kasih

















Pendidikan Sastra: Pengembangan Wawasan Guru

Pendidikan Sastra: Pengembangan Wawasan Guru
Oleh:  Drs. Hermawan, M. Hum.
Sastra adalah penjelmaan keindahan melalui medium bahasa dan mengutarakan pesan verbal bagi khalayak pembacanya. Kesanggupan untuk menemukan matra keindahan itu tentunya dipengaruhi oleh pengenalan bahasa dan terlebih lagi oleh penguasaan berbahasa. Mengenal bahasa tidak dengan sendirinya berarti menguasainya sebagai medium ekspresi yang cukup meleluasakan pilihan gaya bagi penggunanya. Begitu pula cukupnya pengetahuan tentang tatabahasa dan kekayaan kosakata semata-mata belum menjadi jaminan bagi pemahaman sastra, apalagi untuk menangkap dan menghayati nilai estetik yang terpantul melalui verbalisasi.
Pengenalan dan penguasaan bahasa sebagai medium komunikasi memang menjadi dasar untuk selanjutnya dikembangkan sebagai kesanggupan memahami sastra, namun tidak pada sendirinya merupakan sehimpunan anasir yang siap untuk menikmati karya sastra sebagai perwujudan estetika melalui medium bahasa; untuk tujuan ini diperlukan kecanggihan yang berbentuk melalui pembekalan sepanjang berlangsungnya proses didaktik dan otodidak.
Pendidikan adalah proses yang menyertai perkembangan manusia sepanjang hayatnya, ia bukan saja mampu melancarkan ikhtiar untuk mendidik, namun juga diterpa oleh banyak faktor yang mempengaruhi pendidikan  dirinya sendiri. Manusia adalah animal educandum dan animal educandus sekaligus, proses didik-mendidik ini berlangsung terus menerus serta turun temurun. Melalui proses pendidikan ini berlangsunglah evolusi manusia sebagai makhluk berprilaku yang dalam kelanjutannya menjelma sebagai umat yang bermatra peradaban dan kebudayaan.
Bagaimana kita meninjau pertautan antara sastra dan pendidikan. Apakah masalahnya berkenaan dengan pengajaran sastra melalui berbagai jenjang pendidikan sekolah; ataukah sastra bisa berperan sebagai sarana untuk menimbulkan dampak didikan, dan erat kaitannya dengan pertanyaan itu, mungkinkah sastra berfungsi sebagai sumber daya yang bisa mempercanggih wawasan guna memahami perilaku dan kondisi manusiawi. Pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut, sejauh mana sastra punya nilai pedagogik dan fungsi didaktik yang berdampak positif bagi perkembangan pribadi?
Perihal pengajaran sastra melalui pendidikan sekolah sudah banyak diperbincangkan dalam berbagai forum dan media, namun yang sering diutarakan ialah persoalan sekitar kurangnya porsi kurikuler bagi pengenalan dan pemahaman sastra sebagai bagian  dari keseluruhan acara pelajaran bahasa. Segi lain yang tampaknya menjadi sorotan ialah kesanggupan guru bahasa untuk menyajikan materi pelajaran sastra melalui metodik yang efektif dan pendekatan yang sesuai asas didaktik. Kedua kendala tersebut tidak begitu mudah dapat diatasi, mengingat keseluruhan beban kurikuler di sekolah terbagi dalam porsi yang terbatas untuk berbagai mata pelajaran dan disesuaikan dengan tuntutan guna memenuhi tujuan pendidikan pada suatu jenjang pendidikan.
Pendidikan sastra adalah pendidikan yang kreatif. Sastrawan adalah penulis kreatif. Persoalannya, kenapa di masa lalu pendidikan sastra tak dapat maju? Barangkali karena saat itu tidak begitu diperlukan orang-orang kreatif. Ini disebabkan pola pembinaan di masa itu adalah pola militan dan komando. Bila ada orang yang kreatif, maka sistem komando atau militan itu tidak bisa berjalan. Kenapa sewaktu di taman kanak-kanak ada belajar seni? Ini disebabkan sewaktu kecil anak-anak perlu kreativitas. Kita dapat menyaksikan di taman kanak-kanak atau prasekolah itu yang pertama diajarkan adalah seni menggambar, menyanyi, bercerita, bermain, menyusun, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah mulai tumbuh maka kreativitas itu mulai dikurangi dengan jalan hafalan. Sistem pendidikan yang diperlukan cenderung upaya untuk memenuhi NEM pada Ebtanas.
Kreativitas tidak saja diperlukan oleh murid, melainkan juga oleh guru dan didukung prasarananya yang memadai. Bila guru tidak kreatif dan prasarananya tidak memadai untuk menciptakan lingkungan kreatif, maka hasilnya tentu saja tidak memuaskan. Kreativitas guru bukan dituntut begitu saja, tetapi faktor penunjang kreativitas guru itu pun perlu diperhatikan. Bila dulu guru dihadapkan dengan GBPP yang terkomando maka sekarang tidak lagi demikian. Rasanya tidak perlu lagi segala sesuatu itu dalam bentuk sama atau seragam. Bukankah semboyan di kaki burung garuda adalah Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman menjadi satu. Inilah yang terjadi selama ini. Bila di suatu sekolah atau daerah, misalnya, ditentukan sebagai buku wajib untuk sebuah novel adalah Siti Nurbaya atau puisi adalah sajak Aku, maka daerah lain juga diwajibkan begitu. Padahal tidak harus demikian. Akibatnya semua siswa di nusantara ini hanya dikenalkan dengan Marah Rusli dan Chairil Anwar saja.
Kalau seperti ini halnya maka akan janggal bila seorang anak bertemu puisi atau karya sastra lainnya yang berbeda isi dan bentuk. Misalnya sajak Aku dalam bentuk lain berjudul Semangat. Cerita Malin Kundang misalnya ada beberapa bentuk. Bila dahulu kita kenal cerita Malin Kundang dinyatakan kedurhakaan anak terhadap ibu, maka dalam bentuk lain A. A. Navis cerita Malin Kundang itu dinyatakan ibunya yang durhaka. Menurut Wisran Hadi, Malin Kundang tidak durhaka tetapi tukang rebab (penceritalah) yang menyelesaikan cerita jadi lain. Bila Malin Kundang itu menurut cerita lama menjadi batu, menurut Umar Junus menjadi pohon pisang. Mungkin lain lagi menurut versi-versi lain.
Bila kejadian seperti demikian, maka tentulah guru akan sulit menerangkan atau meyakinkan siswa akan kebenaran cerita Malin Kundang yang dahulu itu. Hal-hal seperti ini diperlukan kejelian guru dengan memperkaya bacaan-bacaan tambahan. Dalam proses kreativitas penulis atau sastrawan tidak saja lagi berdasarkan kehidupan dirinya sendiri atau realitanya sendiri, tetapi bisa saja berdasarkan pengalaman orang lain. Misalnya novel Saman karya Ayu Utami yang sangat laris dan terkenal itu. Dalam wawancara beberapa waktu yang lalu, Ayu Utami menjelaskan bahwa sebenarnya ia belum pernah hidup di Palembang, namun ia bisa bercerita banyak tentang Palembang. Hanya sekali saja ia datang ke anjungan minyak lepas pantai, namun hasil tulisannya mengesankan ia telah bertahun-tahun di sana. Begitu juga dengan cerita bersambung berjudul; Si Bungsu karya Makmur Hendrik yang mengisahkan tentang kehidupan rezim Yakuza di Jepang. Padahal Makmur Hendrik menginjak Jepang setelah novel itu selesai. Begitu juga dengan cerita-cerita silat Ko Ping Hoo, penulis cerita silat yang terkenal itu.
Kreativitas perlu pula didukung oleh prasarana, diantaranya perpustakaan. Buku-buku yang ada hendaknya sesuai dengan kebutuhan kreativitas siswa. Sebentar lagi semua perpustakaan memerlukan internet. Sebentar lagi orang bertutur bisa dibaca melalui layar kaca.
Kita perlu memikirkan ini untuk antisipasi ke depan. Mampukah para guru berbuat demikian? Di sinilah diperlukan ideologi keguruan seseorang. Bicara mengenai ideologi guru saat ini sangat kurang sekali. Banyak guru menginginkan kenaikan kesejahteraan atau gajinya. Itu merupakan keinginan yang wajar. Akan tetapi, bila gaji dan kesejahteraan guru itu dinaikkan, belumlah jaminan seorang guru akan menjadi lebih baik (baca kreatif) kalau ideologi keguruannya kurang.
Peran karya sastra sangat banyak yang perlu disampaikan kepada siswa. Sastra bukan saja untuk dibaca dan dinikmati sebagai tugas belajar, tetapi memegang peran yang lebih luas lagi. Karya sastra dapat saja sebagai sarana peneguhan struktur sosial masyarakat, seperti Cindur Mato dan Sejarah Melayu (karya masterpiece dalam khazanah sastra Minangkabau dan Melayu yang diciptakan dalam rangka peneguhan struktur sosial pada waktu itu. Raja yang diakui sebagai pemimpin masyarakat itu adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Kebesaran negara didukung oleh citra rajanya yang berkekuasaan tinggi. Sebagai penguasa tertinggi, kekuasaannya dibatasi oleh kemahakuasaannya Tuhan. Raja harus “adil pada memeliharakan rakyat”, “bijaksana”, “baik barang lakunya”, dan tidak memiliki cela. Raja yang menghukum rakyat dengan tiada salah, hancurlah negaranya. Terhadap raja yang idaman yang berdaulat itu, rakyat pun tidak boleh durhaka. Kedurhakaan rakyat akan membawa malapetaka bagi masyarakat dan negara. Pranata sosial demikian dapat hidup terus dari generasi ke generasi.
Karya sastra juga sebagai cerminan gejala yang muncul dalam masyarakat dan cenderung memperlihatkan tragedi sosial ditujukan oleh kondisi masyarakat yang makin cenderung memperlihatkan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, semakin sulitnya mendapatkan lahan untuk bekerja, kesenjangan sosial yang makin melebar, birokrasi yang terlihat kencang meningkatkan langkah-langkah kerja, kerja yang tidak efisien berhamburan sia-sia, juga oleh kelaparan yang muncul di berbagai belahan bumi Indonesia. Terlihat dalam sajak Taufiq Ismail dengan judul Kembalikan Indonesia Padaku.
Karya sastra dapat merubah citra suatu masyarakat. Hal ini dapat dilihat berubahnya kehidupan masyarakat yang dahulunya lebih suka mengawinkan anak perempuan berdasarkan kehendak orang tua, namun setelah adanya novel Siti Nurbaya yang menjadi pameo masyarakat menjadi perempuan muda tidak mau saja lagi dijodohkan oleh orang tua. Banyaknya lelaki yang poligami sehingga tidak tahu lagi anak seayah menikah. Hal ini dilukiskan oleh A. A. Navis lewat cerpen Datangnya dan perginya yang kemudian dikembangkan menjadi novel Kemarau. Begitu juga dengan novel Chairul Harun yang dapat merubah sikap orang Pariaman suka bersuami banyak atau kawin dengan janda. Perubahan sikap para kiai yang selalu memikirkan sorgawi saja daripada duniawi telah dapat tersadarkan melalui cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. A. Navis. Emha Ainun Najib dengan karyanya Slilit Sang Kiai telah dapat menggerakkan hati sekelompok mahasiswa dan bertindak lebih hati-hati terhadap harta milik orang lain.
Karya sastra dapat juga dilihat secara intertekstual, di mana dalam karya itu akan ada teks atau karya lainnya. Naskah cerita Puti Bungsu katya Wisran Hadi akan mengingatkan kita terhadap cerita Malin Kundang dan kompleks cerita Malin Deman.
Dalam karya sastra dapat juga dilihat unsur tidak cerita dan cerita. Misalnya banyak orang menyangkutkan kisah Siti Nurbaya itu memang kejadian sebenarnya karena di dalam novel tersebut ada tempat-tempat yang memang ada seperti puncak bukit gado-gado tempat bermain ayunan Siti Nurbaya serta kuburannya. Pada cerita-cerita klasik atau tradisional juga demikian. Kebanyakan orang setelah mendengar kaba Minangkabau merasa yakin betul bahwa cerita itu seakan-akan benar terjadi. Cerita adu kerbau di Minangkabau dianggap cerita yang sebenarnya, sehingga kata Minangkabau berarti menang kerbau. Cerita Malin Kundang juga demikian karena di tempat kejadian dalam cerita itu memang ada batu yang mirip kapal dan dermaga. Malahan sekarang relief cerita Malin Kundang itu dibuat sesuai dengan yang sebenarnya.
Akhirnya karya sastra mempunyai peran fungsional dalam masyarakat antara lain memberikan hiburan, ketenangan batin, peredam kemarahan, melembutkan hati yang keras, sarana pembangkit dan pengibar semangat juang, menjadi sarana pengajaran yang efektif, sarana penegak tata sosial, pemberi informasi tentang pelajaran  moral dan agama, serta pemberi informasi tentang berita sejarah dapat dilihat dari berbagai sudut dan segi. Karya sastra tidak dapat dimaknai untuk sekali baca saja. Bahkan setiap kali kita baca akan muncul persepsi dan makna yang baru.

Daftar Pustaka
A. A. Navis. 1990. Bianglala Kumpulan Cerpen. Jakarta: Pustakakarya Grafikatama
--------------. 1967. Kemarau. Bukittinggi: Nusantara

Chairul Harun. 1979. Jakarta: Pustaka Jaya
Emha Ainun Nadjib. 1996. Slilit Sang Kiai. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Fuad Hasan. 1993. Catatan Perihal Sastra dan Pendidikan. Makalah seminar
Internasional Sastra, Film, dan Pendidikan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Marah Rusli. 1990. Siti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka
Siti Chammamah Soeratno. 1994. Sastra dalam Wawasan Pragmatis Tinjauan atas Azas Relevansi di dalam Pembangunan Bangsa. Pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Umar Junus. 1993.  Dongeng tentang Cerita. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia
 Wisran Hadi. 1985. Liem Khoon Doang. Padang: Bahan Program Ceramah Penulisan Kreatif di Museum Adhityawarman

Kemarau: Pengarang dan Pembaca Suatu Komunikasi

Kemarau: Pengarang dan Pembaca Suatu Komunikasi

Drs. Hermawan, M. Hum.
1. Pendahuluan
Ali Akbar Navis, atau lebih dikenal dengan A. A. Navis, pertana sekali nama melejit dalam cakrawala sastra Indonesia modern ketika cerpen Robohnya Surau Kami dimuat di majalah Kisah dan sekaligus dinyatakan oleh majalah Kisah sebagai cerpen terbaik tahun itu. Cerpen yang berbicara tentang tingkah laku seorang penjaga surau dan beribadat kepada Allah. Kakek Garin, si penjaga surau itu, mendapat simpati dari masyarakat sekitarnya; setidaknya, orang-orang di sekitarnya tidak pernah mempersoalkan cara beribadat itu, sampai pada suatu kali muncul Ajo Sidi yang tiba-tiba menghancurkan landasan bangunan kepercayaan kakek itu. Lelaki yang disebut tukang bual itu mendongeng kepada Kakek Garin mengenai Haji Saleh yang menerima murka dari Allah dan masuk neraka bersama-sama dengan haji-haji yang lain meskipun merasa selama hidupnya senantiasa mengagungkan nama Allah swt. Mendengar dongeng semacam itu, Kakek Garin yang berpikiran sederhana itu merasa tersindir. Ia putus asa sebab segala yang dilakukannya di dunia selama ini ternyata keliru; itulah sebabnya akhirnya ia bunuh diri.
Cerpen-cerpen yang dibuatnya setelah cerpen Robohnya Surau Kami ada sebanyak 9 buah yang akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan cerpen di bawah judul Robohnya Surau Kami. Satu lagi diantara cerpennya yang menarik adalah cerpen yang berjudul Datangnya dan Perginya. Cerpen yang mengisahkan tentang seorang yang terlalu banyak kawin, sehingga anaknya sendiri telah kawin dengan anaknya yang lain. Begitu cara Navis memberikan sindiran terhadap masyarakat lingkungan yang pada waktu itu merupakan kebanggaan bila punya istri lebih dari satu. Pada cerpennya yang lain menyindir tentang jodoh seseorang yang selalu ditentukan oleh kaum keluarga. Melalui cerpen Jodoh, Navis telah memenangkan sayembara Kincir Emas yang diselenggarakan Radio Nederland Weredomroep tahun 1975. Cerpen yang bercerita secara flash back ini mengisahkan tentang seseorang yang mendapat jodoh dari iklan surat kabar, padahal jodoh itu seharusnya ditentukan oleh kaum keluarga atau mamak (paman) sebagai kebiasaan (adat) daerah tokoh itu bermukim.
Jika dijajarkan semua karya Navis terutama dengan karyanya yang tersebut di atas dengan novel Kemarau ini terlihat ada suatu maksud pengarang yaitu ingin merombak sistem hidup atau pandangan hidup masyarakatnya terhadap hal-hal yang menjadi keyakinannya. Masyarakat sekitar pengarang saat itu selalu suka ikut-ikutan, tidak yakin dengan keyakinan yang dianutnya. Apalagi zaman saat itu masih dalam keadaan revolusi. Hal lain adalah kemalasan yang terjadi pada masyarakat. Tidak mau bekerja keras. Masyarakat maunya menerima apa adanya, atau mencari hal-hal yang mudah dikerjakan dengan untung yang lebih baik atau lebih besar. Kakek (Garin) yang selalu beribadat kepada Allah swt tanpa berusaha bekerja untuk menghidupi keluarganya. Ia hanya menerima upah sebagai Garin (penjaga surau) dari orang yang sembahyang di Surau itu, atau mendapat sumbangan dari hasil kolam di depan surau itu bila dipanen dan menerima upah bila ada orang yang mau mengasah pisau atau gunting, meskipun kadang-kadang upah tersebut tidak terlalu diharapkannya. Begitu juga masyarakat yang ada dalam novel Kemarau yang dilanda kekeringan, mereka tidak mau berusaha, malah mereka lebih senang ke dukun untuk mengubah keadaan, atau berserah diri kepada Tuhan, dan manakala kedua usaha tersebut terbentur maka mereka senang main domino. Gambaran atau karikatur yang merupakan sindiran ini selalu dimunculkan oleh Navis.
Tokoh aku dalam cerpen Datangnya dan Perginya juga di-gambarkan sebagai seorang tokoh yang melalaikan tanggung jawab terhadap keluarga sehingga tokoh tersebut tidak tahu bahwa anaknya dari istri yang satu telah kawin dengan anaknya dari istri yang lain. Meskipun akhirnya dapat diceraikan namun telah menimbulkan akibat yang fatal karena sudah mempunyai keturunan. Harapan dari tokoh aku yang sudah bertaubat juga tidak tercapai karena telah melalaikan tugasnya, yaitu membiarkan anak sama anak kawin. Sindiran-sindiran terhadap masyarakat yang malas dan tidak mau bekerja keras. Sindiran terhadap para mamak (paman) kaum yang selalu menentukan jodoh anak kemenakannya (dalam cerpen Jodoh). Sindiran terdahap sese-orang yang lebih mementingkan beramal daripada memberi nafkah kepada keluarga sebab beramal dengan selalu beribadat kepada Tuhan akan mendapat hidup yang baik di akhirat dalam cerpen Robohnya Surau Kami.
Tokoh Sutan Duano dalam novel Kemarau, dilukiskan pengarang sebagai tokoh yang ulet dan suka bekerja keras. Ia juga seorang yang taat menjalankan perintah Tuhan sehingga masyarakat mengaguminya sebagai tokoh yang pantas ditiru. Ia juga ingin merombak sistem hidup masyarakat lingkungannya yang suka malas-malasan. Ketika terjadi kemarau panjang, ia mencari air dengan mengangkut dari danau. Air dibawa dengan kaleng bekas minyak tanah dari danau. Ia ambil untuk menyirami sawahnya. Pekerjaan ini dikatakan pekerjaan orang gila. Beda dengan tokoh Kakek Garin. Sutan Duano di samping bekerja keras, ia juga diangkat sebagai penjaga surau yang sekaligus guru mengaji. Semua hasil pencahariannya diberikan kepada masyarakat. Sementara masyarakat mulai tertarik dengan sifat sosial Sutan Duano, apalagi ketika Sutan Caniago berhasil dipinjami uang untuk merantau hidup di kota, tanpa meminta bunga hasil pinjaman. Meskipun, dengan menggadaikan hasil panen padinya, Sutan Caniago merasa tidak menggadaikan hasil panen tersebut. Sutan Caniago hanya dipinjami uang secara cuma-cuma. Begitu juga dengan Haji Syamsiah yang kekurangan uang untuk naik haji, dipinjami uang oleh Sutan Duano tanpa meminta bunga. Walau Haji Syamsiah dan hutang Haji Syamsiah tidak perlu dibayar, sebab dari hasil pohon kelapa selama tergadai kepada Sutan Duano telah menghasilkan uang yang bahkan lebih dari hutang Haji Syamsiah semula.
Kepekaan pengarang terhadap lingkungannya dan wawasan tentang agam dan kebiasaan masyarakat menjadikan masalah-masalah yang menarik untuk diangkat ke dalam suatu karya sastra. Hal ini tercermin dari karya-karyanya yang selalu merupakan sindirian yang tajam kejadian masyarakat sekelilingnya, sehingga membuat karyanya nikmat untuk dinikmati. Apalagi gaya khas sindiran yang dimiliki pengarang dan ditambah dengan bahasanya yang mudah dipahami oleh masyarakat pembaca seperti kutipan berikut ini.
Musim kemarau di masa itu sangatlah panjangnya. Hingga sawah-sawah jadi rusak. Tanahnya rengkah sebesar lengan. Rumpun padi jadi kerdil dan menguning sebelum padinya jadi terbit. Semua petani mengeluh dan putus asa. Orang-orang mengomel perintah yang menyuruh mereka agar dua kali turun ke sawah di tahun itu. Setengah bulan setelah benih ditanam, bendar-bendar tak mengalir air lagi karena hujan sudah lama tidak turun. Setiap pagi dan setiap sore para petani selalu memandang langit, ingin tahu apakah hujan akan turun atau tidak. Tetapi langit selalu cerah di siang, dan alangkah gemerlapnya di malam hari dengan bintang-bintang. Dan setelah tanah sawah mulai merengkah, mulailah mereka berpikir. Ada beberapa orang pergi ke dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan menurunkan hujan. Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah setumpukan sabut kelapa dipanggangnya beserta sekepal kemenyan. Hanya asap tebal yang mengepul di sekitar rumah dukun itu terbang ke awang bersama manteranya. Dan setelah tak juga keramat dukun itu memberi hasil, barulah mereka ingat pada Tuhan. Mereka pergilah setiap malam ke mesjid mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta hujan. Tapi hujang tak kunjung juga turun. Ketika rengkahan sawah sebesar betis, rumput-rumput dan belukar sudah menguning, sampailah putus asa ke puncaknya. Lalu mereka lemparkan pikirannya dari sawah, hujan setetespun tak mereka harapkan lagi. Sebab meskipun hujan akan turun juga saat itu, tidaklah ada gunanya bagi sawah mereka. Dan untuk membunuh putus asa, mereka lebih suka main domino atau main kartu di lepau-lepau (Navis, 1992: 1).
Gaya bahasa sindiran ini mengingatkan kita akan Robohnya Surau Kami yang punya gaya bahasa sindiran sebagai berikut.
“Kalau ada, kenapa kau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedangkan harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka ber-ibadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.
Sedangkan aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahKu saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di kerak neraka” (Navis,1966: 19).
Kesegaran gaya bahasa sindiran inilah yang membuat pembaca karya Navis lebih enak untuk menyelesaikannya. Gambaran-gambaran yang hidup di tengah masyarakat berhasil ditangkap oleh Navis dan memasuk-kannya ke dalam karyanya, sehingga kadang-kadang pembaca pun merasa berada dalam karya tersebut bila kebetulan gambaran itu cocok dengan pembaca.

2. Pengarang dan Pembaca
Karya sastra akan selalu menarik perhatian karena mengungkap-kan penghayatan manusia yang paling dalam, dalam perjalanan hidup-nya di segala zaman di segala tempat di dunia ini. Melalui sastra sebagai hasil kesenian kita memasuki pengalaman bangsa dan bangsa-bangsa dalam sejarah dan masyarakatnya, menyelami apa yang pernah dipikirkan dan dirasakan. Dengan demikian menambah kearifan dan kebijaksanaan dalam kehidupan (Jassin, 1983: 4).
Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk menyi-kapi hidup dalam kehidupan manusia. Dengan demikian novel sebagai bentuk sastra fiksi dapat memberikan alternatif menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini dimungkinkan karena di dalam novel persoalan dibicarakan adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan. Melalui tokoh-tokoh yang dipilih dan ditentukan pengarang dalam menyampaikan cerita, pengarang menyampaikan tema yang diinginkan dan amanat yang ingin dikemukakan.
Membaca novel Kemarau kita dihadapkan kembali dimasa zaman awal kemerdekaan. Pengarang mengajak kita melihat langsung tentang hidup dan kehidupan manusia saat itu. Pengarang dengan meyakinkan bahwa peristiwa itu telah benar-benar adanya, sehingga pembaca merasa yakin akan kejadian yang ada pada cerita dalam novel tersebut. Tokoh-tokoh dihidupkan sedemikian rupa dengan gaya bahasa dan setting yang cocok dimainkan tokoh. Pengalaman hidup pengarang yang dimasukkan dalam cerita membuat tokoh cerita dapat mengatasi permasalahan yang ada pada cerita. Peristiwa yang terjadi dalam cerita dengan permasalahannya telah berhasil diungkapkan pengarang dengan menemui jalan keluarnya. Pengetahuan pengarang akan permasalahan diuraikan pengarang melalui tokoh yang menye-babkan cerita hidup dan membuat pembaca menjadi betah.
Cerita yang mengkritik tentang kehidupan masyarakat di awal kemerdekaan dengan sindiran-sindiran melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan menyebabkan pembaca terpaku. Misalnya untuk menyata-kan orang-orang malas saja berhasil dilukiskan pengerang seperti yang telah dikutip awal tulisan ini. Begitu juga, dengan keyakinan masyara-kat yang masih plin-plan. Suasana saat revolusi dilukiskan sebagai berikut.
Tapi pada suatu hari, ketika serdadu Belanda lagi mencoba kekuatan tenaga revolusi rakyat Indonesia dengan menduduki seluruh kota, banyaklah pimpinan mengungsi ke desa. Tidak pula kurang banyaknya yang mengungsi ke kampung tempat Sutan Duano tinggal (Navis, 192: 4).
Kemudian bagaimana saat revolusi selesai dilukiskan sebagai berikut.
Penduduk kampung itu adalah bangsa yang suka merantau. Tanahnya sempit karena terletak antara bukit dan danau yang vulkanis. Bidang-bidang tanah yang melandai telah dijadikan sawah atau ladang-ladang kelapa atau perumahan ... Maka itu, setelah serdadu Belanda betul-betul sudah angkat kaki dari Indonesia, lebih dari separuh laki-laki di situ kembali ke rantau. Laki-laki yang tinggal hanya orang-orang tua dan anak-anak, dan segelintir orang muda yang tak punya keberanian berjuang di kota. Dan mereka yang tinggal itu dihinggapi semacam mabok. Mabok seperti orang yang telah berpuasa sebulan, lalu mem-punyai kebebasan melahapi penganan di hari raya. Ketika isi kemerdekaan itu ditumpahkan ke kampung itu, kehidupan lama telah lalu. Semua anak-anak harus bersekolah tapi guru-guru kurang, lalu didirikan kursus guru. Semua rakyat harus melek huruf, lalu didirikan kursus PBH (Navis, 1992: 4).

Hanya ada seorang tokoh bisa menghadapi suasana waktu karena ia bekerja keras. Tokoh tersebut adalah Sutan Duano.
Di waktu itulah Sutan Duano memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah yang terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjakannya. Sapi-sapi yang tak tergembalakan lagi, ditampungnya dengan perjanjian seperdua. Seekor beruk dibelinya, dan diambilnya upah menurunkan kelapa sebanyak tiga buah setiap sepuluh yang diturunkan. Malam-malam ketika orang lagi asyik omong-omong di lepau atau mengikuti kursus, ia membanamkan dirinya mengikis lumut kulit manis sampai tengah malam. Di samping itu ia telah mulai sembahyang dan mempelajari agama melalui buku-buku. Dan ketika orang-orang sudah bosan pada kursus-kursus, baik karena uraian guru-guru tak menarik hati, harga-harga sudah mulai meningkat, uang pun sudah bertambah sulit memperolehnya. Tapi Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. Ia sudah punya sepasang bendi, punya seekor sapi untuk membajak (Navis, 1992: 5).
Pengarang juga melukiskan, bagaimana ambisinya masyarakat untuk mengadu-nasib di kota, di mana kota dianggap sesuatu yang memberikan harapan hidup besar di banding di desa. “Sudah yakin benar Sutan akan berhasil baik jika ke kota?” Tanyanya Sutan Duano setelah lama berpikir-pikir. “Keadaan nasib siapa tahu.” “Jangan bermain judi dengan nasib.”
“Aku tidak bermain judi. Kalau di sini sangat sempit hidupku, mungkin di tempat lain Tuhan membukakan pintu rezeki selapang-lapangnya buatku.”
“Di mana Sutan tahu rezeki lebih lapang di kota dari di sini?” Sutan Caniago terdiam dan kepalanya tertekur.
“Kalau Sutan jual padi itu, apa yang dimakan anak bini Sutan kelak?”
“Sebelum turun ke sawah dulu, kami sudah sepakat untuk menjual padi itu setelah disiangi. Hanya itu satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib.”
“Di kampung ini pun setiap orang dapat memperbaiki nasibnya kalau giat.” (Navis, 1992: 7)
...
“Apa yang menarik Sutan pergi merantau itu?” tanya Sutan Duano selanjutnya.
“Si Maraiman.”
“Si Maraiman?”
“Kami sama-sama bertani dulunya. Tapi kemudian ia pergi merantau ke kota. Enam bulan ia baru di rantau, ia telah sanggup membelikan anak istrinya pakaian yang layak ketika ia pulang. Tapi aku, apa yang telah dapat kuberikan buat istriku, selain anak bertambah setiap tahun?”
“Aku dengar si Maraiman itu, selama ini di rantau tak pernah mengirimkan nafkah buat keluarganya.”
Sutan Caniago terdiam.
“Itu kan tak bisa dibanggakan. Sutan di sini selalu meng-hiraukan keluarga Sutan. Meski kain bajunya tak terbelikan, tapi nafkahnya Sutan urus. Itu kan sama saja apa yang diberikan si Maraiman kepada istrinya.”
...
“Aku lama hidup di kota,” kata Sutan Duano melanjutkan.
“Kota tidak bisa menenteramkan hati. Itulah sebabnya aku ke kampung. Di sini aku tenteram dan bahagia. Mengapa pula Sutan yang sudah tinggal di kampung yang tenteram ini, lalu hendak ke kota yang riuh itu? Kota memang banyak pula kemewahan. Tapi bukan kemewahannya adalah sarang kelaknat-an. Pergi ke kota berarti kita memasukkan diri kita ke kancah yang laknat... (Navis, 1992: 9).
 Walau dengan usaha demikian Sutan Duano belum juga berhasil merobah nasib orang-orang kampung tersebut. Malahan dia telah membantu ekonomi masyarakat dengan menghapuskan sistem ijon dan memberikan pinjaman tanpa bunga.
Akhirnya pada suratnya yang keempat, dikatakannya bahwa ia merasa sangat terharu karena Sutan Duano telah mengembalikan hasil padinya yang dijual dengan hanya memotong seharga uang yang diberikan dulu.
...
Berita Sutan Duano yang telah mengembalikan padi pada istri Sutan Caniago itu sangat menggemparkan seluruh isi kampung itu, seperti berita Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dan itulah mulanya Sutan Duano menjadi orang yang berarti di kampung itu (Navis, 1992: 12)
 Pada kesempatan lain terjadi pada Haji Syamsiah yang berkekurangan untuk biaya naik hajinya.
Ketika Haji Samsiah mau ke Mekkah, ia kekurangan uang. Digadaikannya pohon kelapanya limabelas batang kepada Sutan Duano. Orang lain hanya mau memagangnya lima rupiah. Tapi Sutan Duano mau saja memagangnya seberapa diminta Haji Syamsiah ketika itu. Setelah setahun, pohon kelapa itu dipulang-kan kembali. Mulanya disangka Haji Syamsiah harus mengem-balikan uang Sutan Duano. Maka tak menerimanya. Tapi tidak demikian halnya. Menurut Sutan Duano, selama kepala itu dipagangnya, ia telah memperoleh hasil lebih dari seratus lima puluh rupiah. Karena itu ia telah berlaba. Tapi yang pokok katanya, cara pagang gadai yang diadatkan oleh kampung kita ini, haram hukumnya (Navis, 1992: 28).

Pengarang juga menghilangkan anggapan masyarakat terhadap orang tua yang tidur di surau “adalah untuk menghabiskan sisa umur-nya sambil berbuat ibadah melulu, sembahyang, zikir, dan membaca Quran sampai mata jadi rabun. Memang itulah gunanya surau dibuat orang selama ini. “Namun, ternyata pengarang, lewat tokohnya Sutan Duano, berbuat lain. Ia menghabiskan waktunya dengan kerja keras.”
Kehidupan masyarakat terutama perempuan di kampung itu yang suka mengaji bukan lantaran ingin memperdalam pengetahuan agama, tetapi sekedar karena tertarik kepada si Guru. Hal itu jelas menunjuk-kan ketidakmatangan emosi, yang antara lain digambarkannya dalam perkelahian antara Gudam dan Saniah yang ternyata menaruh hati kepada Sutan Duano.
“Mestinya juga kukatakan rupanya pada Guru? Apa Guru kira, aku datang ke surau Guru karena aku ingin mempelajari agama? Guru lira, perempuan lain datang karena pelajaran Guru yang menarik hati? Aku, si Gudam, perempuan janda yang lain, perempuan-perempuan yang tua itu, sama saja. Kami datang hanya untuk memperintang waktu. Guru lihat, mana perempuan yang bersuami yang serajin kami mengikuti pelajaran di surau Guru (Navis, 1992: 89).
 Bila pada bagian sebelumnya telah kita lihat bagaimana kritik tentang kemalasan masyarakat, maka dibagian lain sebagai jawaban dari hal tersebut dilukiskan pengarang bagaimana kerja keras itu yang baik lewat tokoh Sutan Duano ketika menghadapi kemarau di kampung itu.
Pada bagian lain pengarang berusaha mengkritik tentang penda-laman ilmu agama masyarakat yang kurang dalam. Sutan Duano berusaha untuk merubah hal-hal yang kurang baik itu terhadap pengalaman agama yang salah dan kebiasaan pria.
“Memang aneh. Pikirannyapun banyak pula yang aneh. Dulu zakat diberikan orang kepada setiap orang yang mau meminta. Tapi sekarang berkat ajarannya, zakat diberikan kepada yang betul-betul tidak mampu. Hingga zakat itu ia dapat memodali hidupnya agar lebih baik.”
“Diantaranya akulah yang telah merasakan nikmatnya,” kata yang berkarib dengan Mangkuto pula (Navis, 1992: 27).
Dan Sutan Duano menghentikan pekerjaannya. Ia berdiri dan menghadap pada perempuan itu.
“Engkau sudah tahu sejak dulu, aku tidak suka pada pesta-pesta yang berketentuan itu.”
“Aku tidak mengadakan pesta, aku membayar nazar karena Acin telah sembuh,” kata Gudam pula.
“Siapa-siapa yang kau undang makan ke rumah? Tentu Wali Negari juga ? Datuk Bebangso juga, bukan?
“Ya.”
“Itulah yang aku tidak setuju. Kau boleh membayar nazar mu mengundang orang makan enak-enak ke rumahmu. Tapi bukan mengundang orang kenyang, bukan mengundang orang-orang yang biasa makan enak. Itu ria namanya. Dilarang oleh agama. Yang dianjurkan hanyalah megundang anak-anak yatim atau orang-orang miskin yang kelaparan (Navis, 1992: 94).
 Bagian akhir dari novel ini adalah kritikan terhadap orang-orang suka kawin cerai sehingga tidak tahu lagi bahwa anak sesama anak tidak saling mengenal dan akhirnya kawin.sindiran ini diberikan kepada masyarakat yang pada waktu itu menjadi kebanggaan bila beristri lebih dari satu.
Kau lihat nanti, betapa bahagianya mereka. Mereka sudah punya dua orang anak yang manis-manis. Malah hampir tiga. Kalau mereka kau beritahukan, bahwa mereka bersaudara kandung, mereka mesti bercerai sebagai suami istri. Kalau mereka mengerti, kalau mereka beriman dan tawakal seperti kau katakan tadi, tidaklah sulit bagi masanya yang akan datang. Tapi kalau tidak, hancurlah hari kemudiannya. Ambruklah kehidupan-nya yang dulu tersebab kau. Kalau mereka bercerai, anak mereka hendak jadi apa? Tiga orang anak yang tak tahu menahu, cobalah kau pikir ... (Navis, 1992: 113).
Bila pengarang pada cerpen Datangnya dan Perginya mengambil keputusan terhadap persoalan ini dengan membiarkan perkawinan anaknya itu demi rasa kemanusiaan, maka pada novel Kemarau persoalan ini diselesaikan dengan berpedoman kepada ajaran Islam. Pekerjaan itu adalah dosa, maka Masri dan Arni bercerai dengan keinsafan dan kesadaran sebagai umat Tuhan yang tawakal dan beriman.
Banyak lagi sindiran-sindiran tentang kehidupan masyarakat yang diungkapkan pengarang, seperti tingkah laku para janda di kampung yang mau berkelahi untuk memperebutkan pria yang diidamkannya. Mempergunakan guna-guna untuk mencelakakan sese-orang seperti yang dilakukan Saniah terhadap Gudam, namun cepat diketahui Sutan Duano. Kebobrokan kehidupan masyarakat inilah yang diungkapkan pengarang melalui novel Kemarau ini. Melalui renungan implied author mau pun narrator-nya dituangkan semua sindiran-sindiran itu. Pengarang mengungkapkan semua kejadian ber-dasarkan situasi saat itu. Kita bisa melihat bagaimana kehidupan munafiknya seorang tokoh pejuang. Ketika mereka diserang, semua lari ke desa dan berdiam untuk sementara. Kemudian manakala keadaan aman mereka keluar dan telah dianggap atau mengaku sebagai pahlawan. Dari hal-hal yang tersebut di atas mugkin dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengarang sebenarnya ingin mengungkapkan tentang keyakinan atas kodrat Tuhan yang menentukan hidup manusia. Meskipun seorang telah tobat, namun Tuhan akan tetap menguji dan menuntut amal-saleh yang lebih tinggi, yang pada akhirnya juga akan sampai pada suatu pilihan antara kemanusiaan dan keyakinan ber-agama.
Suatu hal lagi yang belum terungkapkan oleh pengarang adalah tentang masa lampau Sutan Duano, meskipun hal itu sebenarnya bisa dikembangkan. Entah berapa kali ia kawin cerai sehingga keluarganya berantakan, hidupnya tidak karuan, dan tentunya kerja kerasnya di kampung itu bisa saja ditafsirkan sebagai usaha untuk melarikan diri dari masa lampau yang kelam itu. Ini bisa merupakan landasan bagi keadaan dan perkembangan kejiwaannya, tetapi karena tidak digarap secara khusus, tokoh-tokoh itu seolah-olah tidak memiliki masa lampau yang jelas. Hanya di akhir novel digambarkan betapa jauh jarak termasuk dari segi martabat antara masa lampau dan kehidupan-nya di kampung itu. Lelaki setengah baya yang di kampungnya mendapat penghargaan dari warga lantaran kerja keras, kekayaan dan sikap tolong-menolong, ternyata sama sekali tidak ada harganya di mata bekas istrinya yang tentunya melambangkan masa lampau.
Bertolak dari judul novel ini Kemarau yang memang mengisah-kan bagaimana suatu musim kering yang panjang melanda suatu kampung. Namun penduduknya tidak mau berusaha, padahal di kampung sendiri Tuhan telah menyediakan air danau. Untuk mengatasi semua itu muncullah tokoh Sutan Duano. Dengan bekerja keras maka semua kesulitan tersebut di atasi dengan baik, hanya saja penduduk tidak mau mengikuti jejak langkahnya, meskipun Sutan Duano di-anggap tokoh masyarakat yang disegani, sehingga hanya Sutan Duano sendiri yang bisa berhasil. Makna lain yang tersirat dari judul ini, di samping musim, juga kehidupan masyarakat itu sendiri. Terutama tentang pemahaman keagamaan. Sehingga masyarakat atau penduduk itu juga gersang akan kehidupan rohaniahnya. Mereka belajar agama hanya karena ikut-ikutan saja. Kemarau itu juga terjadi pada diri kaum wanita yang lebih banyak janda. Janda-janda itu sudah kering batinnya karena kekurangan nafkah batin dari para kaum pria yang lebih banyak merantau atau berada di luar kampung tersebut. Kemarau yang lain adalah tentang pendidikan anak-anak karena guru-guru kurang maka yang bisa diadakan hanyalah kursus-kursus singkat saja. Dan akibat dari kemarau itu maka timbullah kemunafikan, kurang percaya diri, bisa diadu-domba atau di depan seseorang berlaku baik tetapi di belakang orang tersebut berlaku jelek.
Hal-hal di atas itu terungkap dari pengakuan masyarakat ketika Sutan Duano dikabarkan hendak meninggalkan kampung itu.
Kemudian diceritakanlah oleh Rajo Mantari betapa kecang-gungan penduduk di situ seandainya Sutan Duano jadi pergi. Dimintanya maaf seluruh isi kampung itu yang seperti telah memalingkan dirinya dari Sutan Duano semenjak musim kemarau melanda kampung itu. Kini, katanya mereka sudah insaf, bahwa Sutan Duano lah yang benar. Mulai saat itu, mereka berjanji mematuhi anjuran Sutan Duano, asal saja ia tidak jadi pergi. Diceritakannya juga, betapa kekurangan kampung selama ini terhadap sehari-hari, koperasi simpan pinjam, gotong-royong bertani, soal zakat fitrah, bahkan sampai soal ijon yang telah dapat dilenyapkan. Disebutnya segala jasa Sutan Duano selama ini, baik dalam merukunkan rumah tangga, menyelesaikan seng-keta orang sekeluarga. Juga dalam soal tuntutan beragama secara betul (Navis, 1992: 75).
Seperti telah disebutkan di atas bahwa karya ini adalah merupa-kan sindirian terhadap masyarakat pada masa permulaan kemerdekaan dalam suatu kampung (mungkin saja kampung pengarang) dengan serba kekurangannya. Dan kekurangan itu disimbolkan lewat judulnya Kemarau yang berarti telah terjadi musim kering yang panjang di kampung itu.
Apa yang kita rasakan setelah membaca novel Kemarau ini, ialah impleid reader-nya adalah orang-orang Minangkabau yang lebih suka beristri banyak, malas bekerja, merantau hanya untuk ikut-ikutan saja atau kalau berhasil di rantau mereka lupa akan pulang untuk mem-bangun kampung dan pemahaman akan agama. Agama yang diterima tidak dikaji secara mendalam sehingga terjadi salah tafsir dari maksdu-maksud agama tersebut khususnya Islam. Pengarang melalui tokoh-tokoh ceritanya mengungkapkan hal-hal tersebut dan sekaligus ber-usaha merombaknya demi kebaikan kampung halamannya. Menurut pengakuan pengarang dalam Pamusuk Eneste (1982: 68) bahwa tokoh Sutan Duano ditampilkan sebagai tokoh ideal tipe Islam karena di Sumatera Barat banyak ulama Islam terkemuka berasal dari orang-orang taubat atau sadar setelah mudanya menjadi bergajul atau bajingan. Orang-orang yang bertaubat umumnya lebih kongrit amal salehnya daripada orang-orang beramal karena tradisinya meng-hendaki begitu. Kemudian, bagi penduduk Minangkabau Islam bukan saja sebagai agama, tetapi juga telah menjadi kultur. Memajukan bangsa Indonesia dengan memakai kulturnya akan lebih mudah dari pada dengan memasukkan ajaran lainnya. Karena kepemimpinan Islam (ulama) lebih dipercaya rakyat daripada pimpinan lainnya. Di samping itu sesuai dengan kebiasaan orang Sumatera Barat lebih suka menyin-dir daripada memberikan langsung terhadap sesuatu yang mau diajarkan.

3. Penutup
Karya sastra yang baik adalah karya yang bisa menggambarkan situasi zamannya dan melalui karya itu pengarang berusaha meng-ungkapkan ide atau gagasannya dengan mencarikan jalan keluar dari permasalahan yang ditemui pada saat itu. Hal ini telah dilakukan oleh Navis. Suatu keadaan zaman pada masa setelah kemerdekaan dilukis-kan dengan berbagai permasalahan hidup dan kehidupan manusia telah digambarkan secara baik kembali, dihadirkan dengan bahasa yang lancar dan perenungan yang mendalam. Kemudian dengan penga-laman hidup pengarang dibentuklah jalan keluar dari permasalahan yang ditemui pada zaman tersebut. Meskipun gaya Navis yang penuh dengan sindiran tidak semua orang akan dapat mematuhinya tetapi bagi orang Minangkabau yang sejati cara demikianlah yang cocok untuk memberikan pelajaran kepada seseorang. Orang Minangkabau lebih merasa terhina bila disindir daripada dipukul di depan orang ramai. Agaknya implied reader dari novel ini, tentang orang-orang Minangkabau khususnya dan Sumatera Barat umumnya.
Bila dilihat dari keseluruhan karya Navis, kata, kalimat, dan wacana dari setiap karangannya adalah berupa sindiran. Inilah ciri khas dari Navis. Sindiran-sindiran yang ditampilkan Navis telah merupakan model tersendiri atau wacana Navis adalah demikian.
Pembaca dalam hal ini adalah pembaca arif akan situasi dan suasana. Dengan gaya bahasa khas ironi, Navis berhasil menggiring pembaca pada persoalan dan mengantarkan pembaca pada suatu jawaban, meskipun kemudian pembaca juga mempunyai jawaban yang lain lagi. Akhirnya pengarang yang baik adalah pengarang yang berhasil mengungkapkan pikirannya lewat karya dan berhasil di-tangkap pembaca dengan baik. Dan pembaca yang baik tentulah pembaca yang dapat mengambil amanat dan maksud dan ide pengarang, sehingga dimana saja dan kapan saja ide tersebut dapat berkembang sesuai dengan situasinya.

Daftar Pustaka
Abdullah, Imran T. 1984. “Resepsi Sastra Teori dan Penerapannya” dalam majalah Humaniora No. 1 tahun 1984 hal. 71.

--------------------- 1993. “Burung-Burung Rantau: Pengarang, Teks, Pembaca dalam Rangkaian Pemaknaan”. Makalah Diskusi Buku Sastra dan Temu Pengarang PBSI FKIP dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Damono, Sapardi Djoko, 1992. “Kata Pengantar” dalam Novel Kemarau. Jakarta; Grasindo

Eneste, Pamusuk, 1993. Proses Kreatif. Jakarta Gramedia.

Jassin, H. B. 1984. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta; Gramedia.

Martin, Wellace. 1980. Recent Theories of Narrative. New York; Cornell University Press.

Navis. A. A. 1966. Robohnya Surau Kami. Bukittinggi; Nusantara.

-------------- 1992. Kemarau. Jakarta; Grasindo.